Jurnalis Al Jazeera, Anas Al Sharif, gugur bersama empat rekannya akibat serangan Israel di Kota Gaza (photo: X)
Kisah hidup Anas Al Sharif, jurnalis Palestina yang gugur saat liputan di Gaza, jadi simbol keberanian pers dunia di tengah konflik Israel–Hamas. Dan Dunia Pers Berduka, Gaza Kehilangan Salah Satu Suara Terkuatnya
JAKARTA | Dunia jurnalisme lagi-lagi kehilangan salah satu sosok pentingnya. Minggu (10/8/2025) kemarin, Anas Al Sharif—jurnalis kenamaan Al Jazeera—gugur bareng empat rekan wartawannya setelah serangan udara Israel menghantam tenda liputan mereka di dekat Rumah Sakit Al Shifa, Kota Gaza. Total tujuh orang tewas di lokasi, lima di antaranya wartawan, dua lainnya pendamping tim liputan.
Militer Israel nuduh Anas terlibat dengan Hamas dan ikut dalam serangan roket. Tapi tuduhan ini langsung dimentahkan Al Jazeera, Committee to Protect Journalists (CPJ), dan pelapor khusus PBB untuk kebebasan berekspresi. Nggak ada bukti kredibel yang bisa nge-backup klaim tersebut.
Dari Kamp Pengungsi ke Layar Dunia
Anas lahir tahun 1996 di Kamp Pengungsi Jabalia, Jalur Gaza. Anak muda ini kuliah di Universitas Al Aqsa, jurusan komunikasi massa, fokus media penyiaran. Awalnya magang di Al Shamal Media Network, terus dapat kesempatan emas gabung ke Al Jazeera sebagai koresponden Gaza utara.
Sejak perang Israel–Hamas pecah 7 Oktober 2023, Anas nggak pernah absen dari lapangan. Dia liput langsung dari garis depan, nyaksiin kelaparan, pengusiran, sampai serangan demi serangan—bahkan setelah kehilangan keluarganya sendiri.
Desember 2023, rumah keluarganya di Jabalia kena serangan Israel. Ayahnya meninggal karena nggak bisa mengungsi akibat kondisi kesehatan. Meski begitu, Anas milih tetap bertahan di Gaza utara, tolak perintah mundur dari militer Israel. Alasannya? Dia mau terus nyampein suara rakyat Palestina yang “paling sunyi dan terpinggirkan.”
Ancaman yang Jadi Nyata
Anas sering terima ancaman, mulai dari telepon misterius, pesan suara intimidatif, sampai diserang secara online dengan tuduhan “teroris” tanpa bukti. CPJ udah sempat warning kalau ancaman kayak gini biasanya jadi “alarm” sebelum pembunuhan jurnalis.
Beberapa jam sebelum tewas, Anas sempat posting video di X (Twitter) yang nunjukin langit Gaza dihujani ledakan oranye dan suara bom menggelegar. “Pengeboman tanpa henti, agresi Israel meningkat dalam dua jam terakhir,” katanya di video itu.
Pesan Terakhir yang Bikin Merinding
Tanggal 6 April 2025, Anas nulis pesan yang baru dibuka publik setelah dia wafat. Isinya nyeritain betapa berat hidup di Gaza:
“Saya sudah rasakan pedihnya perang di setiap detail. Kehilangan demi kehilangan. Tapi saya nggak pernah ragu nyampein kebenaran apa adanya… agar Allah jadi saksi atas mereka yang diam, yang nerima pembunuhan kami… dan yang hatinya nggak tergerak lihat mayat anak-anak dan perempuan bergelimpangan.”
Dunia Internasional Bereaksi
CPJ tegas bilang jurnalis itu warga sipil dan nggak boleh jadi target perang. Mereka desak pelaku bertanggung jawab. Pelapor khusus PBB, Irene Khan, juga bilang jurnalis lokal Palestina adalah “mata dan telinga dunia” di Gaza—apalagi wilayah itu hampir mustahil dijangkau media asing.
Gugurnya Anas Al Sharif nambah panjang daftar jurnalis yang tewas sejak perang pecah. Kisah hidupnya jadi simbol keberanian, dedikasi, dan tekad seorang jurnalis yang milih tetap berdiri di garis api demi menyampaikan kebenaran ke seluruh dunia.