Pasukan khusus militer Indonesia berbaris selama parade di Denpasar, Bali (foto: dok).
JAKARTA | DPR berencana membahas revisi UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI dalam waktu dekat. Langkah ini muncul setelah Prabowo Subianto mengirim surat ke DPR yang berisi seruan untuk merevisi aturan tersebut. Namun, rencana ini langsung menuai kritik dari Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Sektor Keamanan. Mereka menyoroti sejumlah masalah krusial dalam draf revisi ini, terutama terkait potensi kembalinya dwifungsi TNI.
Jabatan Sipil untuk Prajurit Aktif: Masalah Baru?
Dimas Bagus Arya, Koordinator Kontras, salah satu organisasi dalam koalisi, menyebut ada usulan bermasalah dalam revisi tersebut. Salah satunya adalah perluasan jabatan sipil yang bisa diisi oleh prajurit TNI aktif. Saat ini, UU TNI hanya mengizinkan prajurit aktif menduduki jabatan di 10 kementerian dan lembaga tertentu. Namun, dalam draf revisi terbaru, muncul usulan tambahan yang memungkinkan prajurit aktif ditempatkan di “kementerian/lembaga lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian mereka sesuai kebijakan Presiden.”
Menurut Dimas, penambahan frasa ini sangat berbahaya. Pasalnya, aturan tersebut bisa ditafsirkan lebih luas dan berisiko membuka jalan bagi militer untuk semakin mendominasi birokrasi sipil. Jika ini terjadi, prinsip supremasi sipil dalam pemerintahan bisa tergerus.
Berdasarkan data dari Imparsial, pada tahun 2023 lalu ada 2.569 prajurit aktif yang menduduki jabatan sipil. Dari jumlah itu, 29 di antaranya bekerja di luar lembaga yang sudah diatur dalam UU TNI. Ini menjadi bukti bahwa pelanggaran aturan lama saja sudah terjadi, apalagi jika aturan baru justru memperlonggar batasan ini.
Ancaman Militerisasi di Pemerintahan
Wakil Direktur Imparsial, Hussein Ahmad, menegaskan bahwa jika revisi ini disahkan, akan ada upaya militerisasi dalam kehidupan sipil. Hal ini selaras dengan rencana Prabowo yang ingin melibatkan personel TNI aktif dalam program seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) dan program lain yang membutuhkan tenaga besar.
Selain itu, ada juga wacana menghapus larangan TNI berbisnis. Jika ini terjadi, menurut Imparsial, kita bisa kembali ke era Orde Baru, di mana elit-elit TNI memiliki bisnis dan jaringan ekonomi yang kuat. Ini dikhawatirkan akan memunculkan konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang.
Pendapat yang Berbeda
Di sisi lain, Advisor Defense Diplomacy Strategic Forum, Mayjen TNI (Purn) Rodon Pedrason, menilai ada alasan kuat mengapa prajurit aktif dibutuhkan di jabatan sipil. Menurutnya, TNI punya jaringan luas yang menjangkau hingga ke tingkat desa melalui babinsa dan koramil. Dalam beberapa situasi darurat seperti pandemi COVID-19, peran TNI terbukti sangat efektif dalam membantu program vaksinasi dan distribusi bantuan.
Meski demikian, ia juga mengakui perlunya seleksi ketat bagi prajurit yang akan ditempatkan di jabatan sipil. Penentuan posisi seharusnya tidak hanya berdasarkan kedekatan politik, tetapi juga kompetensi yang jelas.
Bagaimana di Negara Lain?
Di Amerika Serikat, militer berada di bawah kendali sipil. Artinya, militer hanya bisa berperan di ranah sipil jika ada permintaan langsung dari otoritas sipil atau perintah Presiden. Keterlibatan mereka pun terbatas pada situasi darurat seperti bencana alam, penegakan hukum, atau kerusuhan, dan tetap berada di bawah pengawasan sipil.
Sistem ini didesain untuk menjaga keseimbangan kekuasaan antara militer dan pemerintah sipil. Presiden AS memang menjabat sebagai panglima tertinggi angkatan bersenjata, tetapi kebijakan militer tetap diawasi oleh Kongres. Bahkan, Kongres punya kewenangan besar dalam menentukan strategi pertahanan, anggaran militer, hingga membentuk layanan baru seperti US Space Force pada 2019.
Jika dibandingkan, sistem di AS menunjukkan bahwa militer yang kuat bukan berarti harus masuk ke ranah sipil. Justru, pengawasan ketat dari otoritas sipil bisa membuat militer tetap profesional dan fokus pada tugas utamanya.
Apa Selanjutnya?
Revisi UU TNI ini masih dalam tahap pembahasan. Namun, pro dan kontra sudah semakin memanas. Koalisi masyarakat sipil bersikeras menolak karena dianggap membuka peluang dwifungsi TNI kembali. Sementara, pihak yang pro merevisi UU ini menilai kebijakan tersebut bisa meningkatkan efektivitas pemerintahan dalam berbagai aspek.
Apapun hasilnya nanti, yang jelas, revisi ini bukan sekadar soal teknis hukum. Ini soal arah masa depan hubungan sipil-militer di Indonesia. Apakah kita akan tetap menjaga supremasi sipil, atau justru memberi ruang lebih besar bagi militer dalam kehidupan sipil?