ILUSTRASI – Salah satu jurnalis yang mengenakan jaket pers, ditahan di Polda Metro Jaya saat meliput aksi tolak UU Cipta Kerja di Jakarta, Kamis, 8 Oktober 2020. (Foto:Merahputihdotcom)
POSO, SULAWESI TENGAH | Gengs, ada kabar campur aduk nih soal kebebasan pers di Indonesia. Di satu sisi, Indeks Keselamatan Jurnalis 2024 udah naik jadi 60,5 alias masuk kategori “Agak Terlindungi,” naik 0,7 poin dari tahun lalu. Tapi di sisi lain, banyak jurnalis masih merasa cemas terhadap masa depan kebebasan pers, apalagi di tengah transisi pemerintahan baru. Kok bisa gitu ya?
Apa Sih yang Ditemuin di Studi Ini?
Studi ini dilakukan sama Populix , dan melibatkan 760 jurnalis aktif dari 38 provinsi se-Indonesia. Mereka survei dari tanggal 30 Oktober sampai 6 Desember 2024 . Indeksnya sendiri dibuat berdasarkan tiga pilar utama: individu (jurnalis), pemangku kepentingan media, dan peran negara/regulasi .
Manajer Riset Sosial Populix, Nazmi Haddyat, saat menyampaikan hasil Studi Indeks Keselamatan Jurnalis 2024 di Jakarta, Kamis (20 Februari 2025) (Foto: Tangkapan Layar/YouTube)
Nah, meskipun indeksnya naik, ternyata masih banyak banget kasus kekerasan yang dialamin jurnalis. Dari data, ada 167 jurnalis yang mengalami kekerasan dengan total 321 kejadian ! Bentuk kekerasannya macem-macem, tapi yang paling sering adalah pelarangan liputan (56%) dan larangan pemberitaan (51%) .
Yang bikin miris, pelaku utamanya nggak cuma satu kelompok aja. Aktor utama dalam kasus kekerasan ini ternyata adalah:
Organisasi masyarakat (23%)
Buzzer (17%)
Polisi (13%)
“Ada motif pribadi atau kelompok di balik kekerasan ini,” kata Nazmi Haddyat , Manajer Riset Sosial Populix, pas acara peluncuran indeks minggu lalu.
Penyensoran dan Self-Censorship Jadi Masalah Besar
Selain kekerasan, ada juga isu penyensoran yang bikin jurnalis semakin tertekan. Dari survei, 39% responden bilang mereka pernah disensor. Parahnya lagi, 56% jurnalis malah melakukan penyensoran mandiri (self-censorship) karena takut bakal ada konflik atau kontroversi akibat tulisan mereka.
Jurnalis di Medan menolak pengusiran dan kekerasan yang berkaitan dengan kegiatan jurnalistik, Kamis, 15 April 2021. (Foto: VOA/Anugrah Andriansyah)
“Alasannya simpel, mereka pengen hindari masalah. Takut kalo beritanya bakal bikin gaduh atau ganggu pihak-pihak tertentu,” jelas Nazmi.
Aktor utama yang memerintahkan penyensoran ternyata nggak cuma dari luar, tapi juga dari dalam. Data menunjukkan:
Redaksi (45%)
Ormas (28%)
Pemilik media (14%)
Jadi, tekanan nggak cuma dateng dari luar, tapi juga dari atasan atau sistem kerja mereka sendiri.
Kekerasan Fisik dan Hukum Masih Menghantui
Ancaman ke jurnalis nggak cuma soal larangan liputan atau penyensoran. Ada juga ancaman hukum yang bikin mereka was-was. Dari survei, 15% responden bilang mereka pernah diproses hukum gara-gara kerja jurnalistik mereka. Undang-Undang yang paling sering digunakan buat “menjerat” jurnalis adalah:
UU Pers (68%)
UU ITE (36%)
UU KIP (22%)
Pasal-pasal di UU Pers kayak Pasal 5 ayat (1) dan (2) juga sering ditafsirkan subjektif. Pasal ini bisa dipake buat “menyerang” jurnalis yang nulis isu sensitif, apalagi kalo nyentuh kepentingan politik atau ekonomi pihak tertentu.
Angka Turun, Tapi Kualitas Kekerasan Naik
Meski jumlah kasus kekerasan turun dari 87 kasus di 2023 jadi 73 kasus di 2024 , kualitas kekerasannya malah lebih parah. Contohnya, ada kasus pembunuhan wartawan Rico Sempurna di Kabupaten Karo pada Juni 2024. Dia tewas dalam kebakaran rumahnya, yang diduga terkait pemberitaan soal judi.
“Ini pertama kalinya ada jurnalis yang tewas dibunuh sejak beberapa tahun terakhir. Jadi meskipun angka turun, kualitas kekerasannya meningkat,” kata Bayu Wardhana , Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Angka Turun, Tapi Kualitas Kekerasan Naik
Meski jumlah kasus kekerasan turun dari 87 kasus di 2023 jadi 73 kasus di 2024 , kualitas kekerasannya malah lebih parah. Contohnya, ada kasus pembunuhan wartawan Rico Sempurna di Kabupaten Karo pada Juni 2024. Dia tewas dalam kebakaran rumahnya, yang diduga terkait pemberitaan soal judi.
“Ini pertama kalinya ada jurnalis yang tewas dibunuh sejak beberapa tahun terakhir. Jadi meskipun angka turun, kualitas kekerasannya meningkat,” kata Bayu Wardhana , Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Serangan ke Media Juga Nggak Kalah Parah
Nggak cuma jurnalis individu, perusahaan pers juga sering jadi target. Wahyu Dhyatmika , Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), bilang kalo website media sering diserang biar nggak bisa diakses.
“Ketika website media dilumpuhkan, itu juga bentuk sensor dan kekerasan terhadap kebebasan pers,” katanya.
Harapan untuk Masa Depan
Menurut Natalia Soebagjo , Dewan Pengawas Yayasan TIFA, laporan ini tujuannya buat jadi cerminan kondisi jurnalis di Indonesia. Harapannya, pemerintah, organisasi media, dan masyarakat sipil bisa bikin lingkungan kerja yang lebih aman buat jurnalis.
Presiden Prabowo Subianto juga sempet ngomong soal ini pas Hari Pers Nasional, 9 Februari lalu. Dia bilang pemerintah mendukung kebebasan pers, tapi tetep ingetin wartawan buat waspada sama hoaks dan ujaran kebencian.
“Walaupun kita dukung kebebasan pers, kita harus waspada terhadap penyebaran berita bohong, hoaks, dan upaya pecah belah,” kata Prabowo.
Kesimpulan: Masih Ada PR Besar Buat Kebebasan Pers
Meskipun indeks keselamatan jurnalis udah naik, masih banyak tantangan yang harus dihadapi. Mulai dari kekerasan fisik, penyensoran, ancaman hukum, sampe serangan ke media. Semoga ke depannya, pemerintah dan semua pihak bisa lebih serius ngejagain kebebasan pers, biar jurnalis bisa kerja tanpa rasa takut. Setuju kan, Geeks? ✊📰