National News
Hari Pers 2025: Kebebasan Pers di Ujung Tanduk, Apa Solusinya?

JAKARTA | Setiap tanggal 9 Februari, Indonesia merayakan Hari Pers Nasional (HPN), momen yang udah berjalan sejak 1985 barengan sama ulang tahun Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Tapi, HPN 2025 kali ini bawa suasana yang beda. Bukan cuma soal perayaan, tapi juga tantangan besar buat pers Indonesia. Kenapa? Soalnya kebebasan pers di Indonesia lagi menurun banget, bahkan dunia internasional sampe ngelirik.
Laporan terbaru dari Reporters Without Borders (RSF) tahun 2024 nunjukin kalau Indonesia ada di posisi 111 dari 180 negara dalam Indeks Kebebasan Pers Dunia. Turun tiga peringkat dari tahun lalu! RSF bilang penurunan ini gara-gara kontrol terhadap media makin ketat, ditambah banyak kasus kekerasan yang ngejar jurnalis. Ngeri kan?
Pers di Mata Endy Bayuni

“Endy Bayuni, editor senior The Jakarta Post , ngomong kalau kebebasan pers di Indonesia selama 10 tahun terakhir tuh lagi kritis banget. Wartawan makin sulit buat bersuara keras karena kelompok berkuasa sering pake media sosial buat mem-bully atau tekan suara-suara kritis.
“Ruang buat berekspresi itu semakin sempit. Bukan cuma wartawan atau media aja yang kena dampaknya, tapi masyarakat umum juga ngerasain,” katanya pas diwawancara VOA. Dia juga ngingetin kalau internet, yang mestinya jadi ruang bebas buat semua orang—terutama kelompok terpinggirkan—malah sekarang dikuasai sama orang-orang berkuasa dengan modal politik dan uang. Mereka bisa bayar pihak lain buat menguasai diskusi publik. Jadi, gimana nasib kebebasan informasi?
Pandan Yudhapramesti: Pers Harus Tetap Ada!

Di sisi lain, Pandan Yudhapramesti, Ketua Program Studi Jurnalistik Universitas Padjajaran Bandung, bilang tantangan pers sekarang beda banget sama dulu. Dulu, informasi susah didapat, tapi sekarang malah kebalikannya. Informasi gampang banget diakses, tapi sayangnya banyak yang palsu alias hoaks.
“Kalau peran pers nggak dijaga, siapa lagi yang bakal jadi pengontrol? Negara harus cari strategi supaya eksistensi pers tetap ada,” katanya. Dia juga ngingetin kalau pers itu penting banget buat masyarakat demokratis. Tanpa pers yang independen, masyarakat bakal kehilangan alat kontrol terhadap kekuasaan.
“Jadi pun kalau mandapat iklan tidak akan banyak sekali. Subscription juga tidak bisa menutupi biaya untuk operasional sebuah newsroom, yang pasti mahal. Saya belum, kayaknya belum ada yang menemukan jawabannya,” katanya.
Media Kehilangan Ruang Publik
Endy tambahin, media berita sekarang ngerasa perannya makin berkurang karena ruang publik udah dikuasai sama orang-orang berkuasa yang manfaatin medsos buat nyebarin misinformasi atau disinformasi. Tapi, dia yakin solusinya ada di balik semua ini.
“Apa yang bisa dilakukan media? Ya balik lagi ke dasar-dasar jurnalisme. Saya percaya masyarakat pada akhirnya bakal tetap nyari informasi yang kredibel dan bisa dipercaya,” katanya. Makin banyak hoaks di dunia maya, makin dibutuhkan media yang punya prinsip jurnalisme kuat.
Dualisme PWI: Masalah Internal yang Bikin Citra Pers Rusak
Selain tantangan eksternal, pers Indonesia juga lagi dihadapkan sama masalah internal. Dualisme kepemimpinan di PWI bikin polarisasi di kalangan wartawan. Beberapa pihak bilang kondisi ini merusak citra pers dan bikin organisasi nggak efektif buat memperjuangkan kebebasan pers. Endy bilang ini harus jadi pelajaran buat semua.
“Kita harus introspeksi diri, pahami kondisi jurnalisme sekarang, dan cari cara buat memperbaikinya,” katanya. Menurut dia, profesi wartawan dan industri pers layak didukung demi masyarakat yang lebih demokratis dan terbuka.
Sementara itu, Pandan menyarankan supaya Hari Pers Nasional nggak lagi digabung sama hari ulang tahun organisasi wartawan. “Kalau ada masalah sama organisasi, ya otomatis bakal ada dualisme kayak sekarang. Ini bisa bikin wartawan terpecah,” katanya.
Masalah Finansial: Media Terancam Bangkrut
Salah satu tantangan terbesar pers Indonesia sekarang adalah masalah finansial. Endy bilang model bisnis industri pers lagi krisis parah. Banyak media tutup, wartawan kena PHK, bahkan ada yang resign karena nggak lihat masa depan cerah di profesi ini.
“Iklan nggak cukup, langganan juga nggak bisa nutup biaya operasional newsroom. Ini mahal banget!” katanya. Endy juga ngomentarin ide publishers’ right , di mana platform teknologi diminta bayar media buat konten mereka. Tapi, dia bilang ini cuma solusi jangka pendek.
“Untuk jangka panjang, kita butuh mekanisme pembayaran dan model bisnis yang sustainable buat mendukung jurnalisme,” tambahnya.
Harapan ke Pemerintah
Endy berharap pemerintah nggak terlalu banyak intervensi ke industri pers. Kalau pemerintah ikut campur, takutnya malah bakal banyak aturan yang ganggu independensi pers. Tapi, pemerintah bisa bantu lewat infrastruktur hukum yang mendukung pers, kayak insentif pajak atau keringanan pajak.
“Masyarakat kita butuh pers yang independen. Dana bisa datang dari masyarakat, misalnya lewat kegiatan filantropi. Di Indonesia banyak orang kaya, tinggal gimana pemerintah bikin aturan yang bikin mereka mau bantu pers,” tutup Endy.
Jadi, gimana nih nasib pers Indonesia ke depannya? Semoga aja ada solusi yang bisa bikin pers tetap hidup dan independen di tengah tantangan zaman sekarang. 💪
sumber voaindonesia
