Kisah Inspirasi
Bakat dan Budaya Hip Hop Lahir di Indonesia Timur
By ABC Australia
Budaya hip hop di Indonesia mulai berkembang di tahun 90an. Tapi di Indonesia timur, jenis musik ini masih terus digemari anak-anak muda dan tidak berhenti melahirkan musisi berbakat.
Tepat 50 tahun lalu, hip hop lahir dari block party yang sering digelar di Bronx, kota New York.
Lagu-lagu rap pertama kali masuk ke Papua lewat kaset, video Betamax, serta siaran radio.
Onesias Chelvox Andreas Urbinas masih ingat ketika pertama kali merekam lagunya di sebuah warnet di tahun 2007, saat koneksi internet masih sangat terbatas di Papua.
“Musik ini sarat dengan storytelling, cocok untuk saya yang ingin bicara,” ujarnya, yang kemudian dikenal dengan nama Epo D’Fenomeno.
“Kebetulan suara saya untuk menyanyi juga tidak bagus, dan saya tidak bisa memainkan satu pun alat musik.”
Memperkenalkan lagu rap juga enggak mudah, karena belum ada pilihan platform. Untungnya Epo menemukan cara kreatif.
“Kami bikin lagu untuk didistribusikan secara gratis, kami kasih ke teman-teman supir angkot, ke supir truk sampah,” ujarnya.
Salah satu alasan mengapa hip hop terus berkembang di Papua, mungkin karena genre ini memang lebih mudah diadaptasi.
“Mengapa cepat membaur … karena dialek orang-orang Papua, yang gaya bicaranya cepat mirip dengan rap,” kata Iam Murda, seorang breakdancer dari Freedom Jayapura dance squad.
“Secara gesture, saat berjalan sehari-hari … jalannya itu juga agak nge-bounce.”
Bounce yang ada dalam tarian hip hop juga agak mirip dengan beberapa tarian tradisional di Papua, yang lebih menekankan gerakan tubuh bagian bawah, jelas Iam yang juga dosen di Institut Seni Budaya Indonesia Tanah Papua.
Kebebasan dalam hentakan beat
Di awal karirnya, Epo mulai mencoba menulis lirik rap soal kehidupan pribadinya.
“Ternyata saya kurang mampu buat tulis cerita hidup tentang broken home,” ujarnya.
“Saat melihat apa pun di lingkungan sekitar, seperti ketimpangan-ketimpangan sosial, justru rasa ingin bersuara saya lebih besar, untuk tanah Papua khususnya.”
Saat ini Epo menjadi salah satu musisi hip hop yang berpengaruh di Papua.
Sejak tahun 2020, ia memiliki sebuah studio dan label musik bernama Rum Fararur, yang dalam bahasa Biak artinya rumah untuk bekerja, dengan menanungi enam artis lokal binaan.
Sejumlah rapper yang berbicara kepada ABC Indonesia mengaku kalau ada beberapa rapper lain yang menulis lirik “nyerempet” dengan topik kemerdekaan bangsa Papua.
Tapi kebanyakan dari mereka, saat membicarakan kebebasan, lebih dimaksudkan pada hak-hak mereka dan masalah sosial sehari-hari.
Seperti juga yang dikatakan Epo, yang mengaku konsisten menyuarakan “kebebasan untuk menentukan kesejahteraan di atas tanah sendiri”.
“Isu Papua merdeka ini sudah sangat konsumtif, digoreng jadi konflik dan lain-lain,” kata Epo.
“Ada juga musisi bahkan rapper yang menggunakan isu ini untuk menarik massa, [tapi] untuk saya sendiri, kalau kita bicara tentang isu keresahan sosial tanah Papua dan pergerakan-pergerakan itu, ini tidak terlepas dari orang suku Biak, dan kebetulan kami dari Biak.”
Ada pula yang mengangkat topik soal tantangan yang dialami sejumlah anak-anak muda di Papua, seperti yang dilakukan Carlton Reksy Songgonau, rapper dan anggota dari grup Hollandia 98.
“Misalnya kehidupan di jalanan, masalah minuman keras, narkoba, kita angkat juga,” jelasnya.
“Tapi ada juga sisi baik dari kehidupan mereka yang perlu diangkat dalam lagu-lagu, termasuk soal cinta.”
Dibentuk di tahun 2014 lalu, Hollandia 98, yang diambil dari nama kota Jayapura dulu, sudah memproduksi lebih dari 50 lagu.
Di bulan Agustus ini, mereka juga baru saja merilis album baru bernama ‘Amateur Mixtape’ yang akan memperkenalkan beberapa aliran dalam musik hip hop kepada para penggemarnya.
‘Yang penting berkarya’
Kalau sedang membahas hip hop di wilayah Indonesia timur lainnya, kurang lengkap jika tidak melihat perkembangannya di luar Papua.
Misalnya di Ambon, ibu kota Maluku, yang pada tahun 2019 mendapat sebutan City of Music dari UNESCO.
Ambon mengklaim punya setidaknya 530 musisi, 780 kelompok paduan suara, 94 studio musik, dan 177 grup musik.
Grizzly Cluivert Nahusuly adalah salah satunya.
Ia mulai menyukai hip hop sejak tahun 2010 saat ia banyak mendengarkan lagi-lagu rap, termasuk Tupac Shakur, salah satu ikon dalam musik hip hop dunia.
“Sumber belajarnya banyak, ada yang otodidak, ada dari download video-video Hip Hop performance, ada yang dari teman, lalu saya coba mempraktikkannya.”
Ia semakin yakin berkarir di dunia hip hop setelah megikuti National Rap Contest di tahun 2011.
“Dulu kami produksi hanya berbekal home studio rakitan, peralatannya tidak proper, tapi yang penting [lagunya] jadi saja dulu.”
Tapi enggak seperti gaya musik rap Ambon yang menurutnya “lebih keras” dan banyak “bragging”, Grizzly memilih gaya berbeda.
“Saya mencoba keluar dari tampilan keras, dan saya tidak mau jadi sama dengan orang lain membawa Hip Hop yang keras.”
Di single-nya yang berjudul ‘Hela Napas’, misalnya, ia memadukan pop indie dan rap, yang ia sebut poppin rap, dengan lirik yang jauh dari kata-kata kasar.
Di lagu ini, ia mengajak pendengarnya untuk benar-benar menikmati akhir pekan, bukannya membuat banyak rencana yang bikin sibuk.
Di Nusa Tenggara Timur, Bianca da Silva, sepertinya sudah memantapkan jalannya sebagai rapper perempuan seperti idolanya, Nicky Minaj.
Bianca adalah seorang rapper di kota Maumere, yang jumlahnya masih jarang di kalangan perempuan.
Ia mulai percaya diri setelah ia tampil di Yogya, tempatnya berkuliah di tahun 2012.
Bianca sempat ditawari sebuah label rekaman di Yogya, tapi ia menolaknya.
“Saya waktu itu mikir, kalau saya keluar dari Maumere, saya khawatir nanti di Maumere tidak ada perkembangan Hip Hop lagi,” ujarnya yang juga aktif di Komunitas Kahe, ruang seni dan budaya di Maumere.
Bianca mengaku ia dan grup hip hop-nya bisa tampil rata-rata tiga kali dalam sebulan.
Ia mengajak agar lebih banyak perempuan di Maumere untuk mau mengembangkan bakat mereka di dunia hip hop.
“Di Maumere ada [perempuan] yang suka Hip Hop, tapi malu sama cowok-cowok, ‘nanti saya diledek, liriknya dibilang jelek, musiknya jelek’,” ujarnya.
“Lebih percaya diri saja untuk teman-teman perempuan, karena kita pasti unik. Bagus atau tidak, yang penting berkarya saja dulu.”
Bakat rap Bianca mungkin tidak lepas dari kegemarannya menulis puisi.
Di saat teman-teman di sekolahnya suka tampil menunjukkan bakat mereka, Bianca lebih memilih menyimpan hobinya untuk diri sendiri.
Menurut Iam salah satu kontribusi positif dari budaya hip hop adalah mengasah kemampuan literasi.
“Sebelumnya tradisi kebanyakan suku Papua, misalnya, adalah lisan, tidak biasa menulis.”
“Di era sekarang ini anak-anak mulai membaca dan menulis lirik. Jadi ada perkembangan literasi yang luar biasa dan mulai mengungkapkan ekspresi mereka,” jelas Iam.
Mimpi jadi pusatnya hip hop di Indonesia
Para rapper yang berbicara dengan ABC Indonesia setuju kalau sosial media dan perkembangan teknologi membuat mereka lebih mudah mempromosikan karyanya, bahkan ke tingkat global.
Epo misalnya, enggak usah lagi menitipkan lagunya ke sopir angkot, karena sekarang ratusan ribu orang menghampirinya sebagai subscriber di kanal YouTube-nya.
“TikTok juga sangat membantu untuk memberitahu mereka yang di luar Papua kalau kita punya hip hop di sini,” kata Carlton dari Hollandia98.
Iam merasa yakin jika dunia hip hop dan rap di Papua masih memiliki potensi besar untuk terus dikembangkan.
“Orang nonton jazz harus datang ke Jakarta untuk melihat Java Jazz, kenapa enggak dibalikin, untuk melihat hip hop, mereka datang ke Papua,” ujarnya.
Melihat minat dan bakat yang terus bertambah, mimpi ini bisa segera diwujudkan.
Tinggal para pelakunya yang sama-sama ingin memajukannya tanpa membuat budaya Papua hilang, serta dukungan dari pemerintah.