PopImaji
Bab 1: Dingin di Antara Kita
oleh SanSoe

📌 DISCLAIMER
Seluruh tokoh, tempat, alur cerita, dan kejadian dalam novel ini adalah hasil dari imajinasi penulis. Apabila terdapat kesamaan nama, tempat, atau peristiwa dengan kejadian nyata, itu semata-mata kebetulan dan tidak disengaja. Novel ini ditulis untuk tujuan hiburan semata. Penulis tidak bermaksud menyinggung, merendahkan, atau menyerang pihak manapun, baik individu, kelompok, suku, ras, agama, maupun profesi tertentu. Semua pandangan, pemikiran, dan tindakan yang dilakukan oleh tokoh dalam cerita tidak mencerminkan pandangan pribadi penulis. Harap menikmati cerita ini dengan bijak dan penuh rasa hormat.
POP IMAJI, POPERS.ID | Malam ini Bandung dingin banget, kabut tipis nempel di jendela apartemen kami di Dago Atas, bikin suasana kayak film drama Korea yang kelabu. Angin sejuk dari bukit Dago nyelinap lewat celah balkon, bawa aroma tanah basah dan daun pinus yang khas. Dari sini, gue bisa lihat lampu-lampu kota berkelip di kejauhan, mencerminkan gemerlap yang biasanya bikin Alika, istri gue, tersenyum lebar. Tapi malam ini, hati gue panas, kayak ada yang nyanyi lagu galau di kepala, dan Bandung yang biasanya bikin adem justru terasa seperti freezer yang membekukan setiap inci perasaan gue.
Gue, Arga Ramadhan, 35 tahun, asli Bogor, lulusan BINUS, seharusnya lagi di puncak hidup. Startup gue, Nexlify, lagi naik daun—aplikasi manajemen proyek yang bikin investor dari Jakarta sampai Singapura antre buat nyuntik dana. Wajah gue, kata temen-temen, mirip Deva Mahenra, ganteng dengan rahang tegas dan mata yang katanya “penuh cerita.” Tapi di mata Alika, gue cuma laki biasa yang nggak cukup hype buat gaya hidupnya. Alika, 28 tahun, cewek Jakarta tulen, juga lulusan BINUS, cantik polos ala Dilan Janiyar. Hijabnya selalu on point, wajahnya lembut dengan senyum yang dulu bisa bikin gue lupa dunia, tapi sekarang? Senyum itu kayak cuma formalitas, dingin kayak kabut di luar sana.
Malam ini, Alika lagi di kamar mandi, suara air shower samar-samar kedengeran dari kamar tidur kami. Rumah kami serasa freezer: dingin, sepi, dan canggung. Arista, anak cewek kami yang tujuh tahun, keluar dari kamarnya, bawa kertas bergambar unicorn warna-warni. “Papah, lihat! Ini unicorn buat Mamah, bagus nggak?” tanyanya, matanya berbinar penuh harap. Gue senyum, cium keningnya yang lembut. “Bagus banget, Sayang. Mamah pasti suka,” kata gue, meski dalam hati gue ngerasa berat. Alika jarang banget main sama anak-anak akhir-akhir ini, apalagi bikin Arista ketawa kayak dulu. Rayan, si bungsu yang lima tahun, udah bobok di kamar, peluk boneka pandanya yang nggak pernah lepas. Tadi sore, pas gue gantiin bajunya, dia nanya dengan suara kecil, “Papah, Mamah kok jarang nyanyi buat Rayan lagi?” Gue cuma bisa peluk dia, bilang, “Mamah lagi sibuk, Yan. Nanti Papah nyanyi, ya.” Tapi pertanyaan itu nyangkut di kepala gue, kayak jarum yang nyaris nggak kelihatan tapi sakit banget.
Gue jalan ke kamar tidur, niat naruh jaket di lemari, tapi mata gue tertarik ke meja rias Alika. HP-nya kebuka di situ, layarnya masih nyala, nunjukin aplikasi Instagram. Bukan kebiasaan gue ngintip, bro, tapi malam ini jari gue kayak punya otak sendiri. Gue pegang HP-nya, dan di kolom DM, gue lihat nama Reza Bramantyo. Jantungan gue kayak kena gebuk pas baca pesennya: “Lik, you make my day, seriously. Tomorrow ketemu lagi, dong?” plus emoji hati. Reza, partner kerja Alika di agensi pemasaran, yang katanya “super kreatif” itu. Gue tarik napas dalam, nahan diri biar nggak langsung ngegas, tapi perut gue mulas, kayak abis makan sambel terasi di warung deket kantor.
Gue coba ingat nasihat Ustadz Farhan di masjid deket rumah, pas salat Maghrib tadi: “Sabar itu kunci, Arga. Allah uji yang Dia sayang.” Gue sholeh, rajin salat, sayang keluarga, tapi kenapa Alika kayak ngerasa gue kurang? Startup gue udah bikin kita punya apartemen di Dago Atas, mobil Xenia, liburan ke Puncak tiap tahun, tapi Alika tetep bilang, “You don’t get my lifestyle, Ga.” Gue sering ragu, plin-plan, apalagi soal keputusan besar. Mungkin itu yang bikin dia ngerasa gue nggak cukup. Tapi pesan dari Reza ini? Ini bukan soal lifestyle. Ini sesuatu yang lain.
Gue scroll lagi DM-nya. Ada pesan lain dari Reza, seminggu lalu: “I know you’re not happy, Lik. You deserve better.” Darah gue naik ke kepala, tapi gue tahan. Gue nggak mau jadi suami yang ngamuk tanpa bukti. Gue buka aplikasi Al-Qur’an di HP gue, baca surat Al-Baqarah, ayat 153 tentang kesabaran: “Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan salat, karena sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” Gue coba tenangin diri, tapi pikiran gue balik lagi ke Reza. Ke Alika. Ke emoji hati itu.
Suara shower di kamar mandi berhenti. Gue buru-buru taro HP Alika balik di meja rias, posisinya persis kayak tadi, takut ketahuan. Alika keluar dari kamar mandi, rambutnya dibungkus handuk, wajahnya cantik polos tapi dingin, kayak nggak pengen ngeliat gue. Dia pake daster simpel, tapi entah kenapa, malam ini dia terlihat kayak orang asing. Arista lari dari ruang tamu, bawa kertas gambarnya. “Mamah! Lihat, aku gambar unicorn!” katanya ceria, matanya penuh harap. Alika cuma senyum tipis, nggak secerah dulu. “Bagus, Arista. Mamah capek, ya,” katanya datar, lalu jalan ke lemari buat ambil baju. Arista ngeliatin gue, matanya mulai redup. “Mamah nggak suka unicornya, Papah?” tanyanya pelan. Gue peluk dia, coba nyanyi, “Mamah suka banget, Sayang. Cuma Mamah lagi capek. Nanti kita kasih lagi, ya.” Tapi hati gue perih, ngeliat Arista coba paham sesuatu yang seharusnya nggak dia pikirin.
“Udah malem, Ga,” kata Alika dari arah lemari, nadanya datar, kayak ngomong sama temen kantor, bukan suami. Gue cuma manggut, nggak tahu harus ngomong apa. Suasana canggung ini kayak kabut Bandung: tebel, dingin, dan bikin sesek. “Meeting sampe malem gini?” gue tanya, coba santai, tapi suara gue kedengeran kaku, kayak orang yang nyanyi fals. “Iya, klien dari Singapur. Super busy,” jawabnya singkat, matanya nggak ketemu mata gue. Dia balik ke meja rias, ngambil lip balm, dan gue ngerasa jantungan gue berdetak kenceng, takut dia ngecek HP-nya dan tahu gue buka DM-nya.
Gue bawa Arista ke kamarnya, ceritain dongeng tentang unicorn yang dia suka, tapi pikiran gue nggak di situ. “Papah, nanti Mamah baca dongeng juga, ya?” tanya Arista, suaranya penuh harap. Gue cium keningnya, “Pasti, Sayang. Sekarang bobo dulu.” Setelah Arista tidur, gue balik ke ruang tamu, coba nenangin diri. Rayan tadi sore juga nanya soal Alika, “Papah, Mamah kok jarang nyanyi lagu bintang lagi?” Gue cuma bisa peluk dia, bilang, “Mamah lagi sibuk, Yan. Nanti Papah nyanyi.” Tapi pertanyaan anak-anak itu kayak jarum, nusuk pelan tapi dalam.
Gue buka WhatsApp, kirim pesan ke Franky, sahabat gue dari Timur yang udah kayak keluarga. “Bro, besok ketemu di kafe Dago, dong. Need to talk.” Franky balas cepet: “Oke, Ga. Sabun, sabun, bro. Apa kabar?” Gue ketawa kecil, cuma dia yang bisa bikin gue ketawa di saat gini. Franky, orang Ambon yang entah kenapa jago banget bahasa Sunda, selalu punya cara bikin hidup terasa lebih ringan.
Pagi harinya, Bandung masih dingin, kabut belum sepenuhnya hilang. Gue bawa Arista dan Rayan ke sekolah. Rayan tarik tangan gue, “Papah, nanti kita main di taman, ya? Bareng Mamah?” Gue senyum, cuma bisa bilang, “Iya, Yan. Nanti Papah usahain.” Arista ikut nimbrung, “Mamah kan sibuk, Papah. Tapi aku mau Mamah baca dongeng lagi.” Gue peluk mereka berdua, coba sembunyiin beban di dada gue. “Mamah pasti baca dongeng lagi, Sayang,” kata gue, meski gue sendiri nggak yakin.
Pas balik ke apartemen, gue lihat Alika lagi siap-siap ke kantor. Dia pake blazer navy, hijabnya rapi, tapi matanya nggak ngeliat gue. “Aku ke kantor dulu, Ga. Klien dari Singapur minta revisi campaign,” katanya, buru-buru ambil tas. “Lik, kita ngobrol bentar, dong,” gue coba, suara gue pelan, hampir memohon. Dia cuma ngelirik, “Nanti aja, Ga. I’m late.” Dia keluar, ninggalin aroma parfumnya yang dulu gue suka, tapi sekarang cuma bikin hati gue perih.
Gue ke kantor Nexlify di daerah Cihampelas, coba fokus ke meeting sama tim. Tapi di ruang meeting, pikiran gue nggak di presentasi. Reza. Alika. Emoji hati. Gue bayangin dia ngobrol sama Reza, ketawa sama dia, sesuatu yang udah lama nggak dia lakuin sama gue. Salah satu tim gue, Rudi, nanya, “Boss, you okay? Kok spaced out?” Gue cuma senyum, “I’m fine, bro. Just a bit tired.” Tapi dalam hati, gue nggak fine sama sekali.
Malamnya, Alika pulang lebih awal, tapi suasana tetep canggung. Kami makan malam bareng Arista dan Rayan, tapi hampir nggak ada obrolan. Arista cerita tentang sekolah, “Papah, tadi aku menang lomba mewarnai!” Gue tepuk tangannya, “Keren banget, Sayang!” Alika cuma senyum kecil, bilang, “Bagus, Arista.” Rayan nyanyi kecil, “Mamah, nyanyi lagu bintang bareng aku, dong.” Alika cuma manggut, “Nanti ya, Yan,” tapi matanya ke ponselnya. Gue ngerasa ada dinding tak terlihat di antara kami, setebel kabut Bandung.
Setelah anak-anak tidur, gue coba ngobrol lagi. “Lik, kita perlu ngobrol serius,” kata gue, duduk di sofa. Dia ngeliat gue, matanya lelah. “Soal apa, Ga? Aku capek banget hari ini,” katanya, nadanya dingin. Gue ngerasa kayak orang asing di rumah sendiri. “Soal kita, Lik. Soal Arista, Rayan,” gue bilang, coba nahan emosi. Tapi sebelum dia jawab, ponselnya bunyi. Dia lihat layar, wajahnya berubah, lalu buru-buru bangkit. “Aku ke kamar dulu,” katanya, cepet-cepet masuk.
Gue balik ke kamar, niat tidur, tapi nggak bisa. Pikiran gue penuh sama Reza, sama Alika, sama anak-anak yang mulai ngerasa ada yang salah. Gue lihat meja rias Alika lagi, HP-nya masih di situ, layarnya mati sekarang. Gue nggak buka lagi, takut ketahuan, tapi pesan Reza itu kayak terbakar di otak gue: “I know you’re not happy, Lik. You deserve better.” Tidak ada suami yang sempurna, tapi aku akan jadi papah terbaik untuk anak-anakku, pikir gue, coba kuatin hati.
Tiba-tiba, gue denger suara pintu kamar mandi kebuka. Dari celah pintu kamar tidur, gue denger suara Alika bisik-bisik di telepon, “Bro, you can’t text me tonight. Arga’s home.”
Jantungan gue berhenti. Siapa yang dia maksud? Dan kenapa dia harus bisik-bisik?
bersambung….

