BOGOR | Khutbah Jumat yang disampaikan oleh Ustaz Abu Shaffa pekan ini benar-benar menyentuh sisi terdalam hati para jamaah. Dengan gaya yang sederhana tapi penuh makna, beliau mengajak kita untuk merenungkan bagaimana cinta yang berlebihan bisa berujung pada kehancuran jiwa, dan bagaimana cinta kepada Allah justru menjadi penyelamat yang sejati.
Di awal khutbah, Ustaz membuka dengan data mencengangkan. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, tercatat bahwa lebih dari 6,1% penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas mengalami gangguan mental emosional. Jika dihitung secara kasar, ini setara dengan 11 juta orang yang menghadapi gejala seperti depresi dan kecemasan. Lebih lanjut, sekitar 1,7 juta orang mengalami gangguan jiwa berat.
Ustaz juga membagikan informasi dari sebuah yayasan di Lamongan, Jawa Timur, yang menangani pasien ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa). Dari 140 pasien yang dirawat, 90% di antaranya adalah laki-laki, dan yang paling mengejutkan, penyebab utama gangguan jiwa yang mereka alami berasal dari persoalan asmara dan cinta.
Dari fakta tersebut, Ustaz mengingatkan kepada para pemuda yang sedang mencari pasangan untuk tidak berlebihan dalam mencintai. Beliau mengutip sabda Nabi Muhammad SAW:
“أَحْبِبْ حَبِيبَكَ هَوْنًا مَا عَسَى أَنْ يَكُونَ بَغِيضَكَ يَوْمًا مَا، وأَبْغَضْ بَغِيضَكَ هَوْنًا مَا عَسَى أَنْ يَكُونَ حَبِيبَكَ يَوْمًا مَا” “Cintailah orang yang kau cinta dengan sewajarnya, boleh jadi suatu hari dia menjadi orang yang kau benci. Dan bencilah kepada orang yang kau benci sewajarnya, boleh jadi suatu hari dia menjadi orang yang kau cinta.” (HR Tirmidzi)
Ustaz lalu mengangkat kisah agung Nabi Ibrahim a.s., seorang kekasih Allah yang cintanya kepada Sang Pencipta melampaui cinta kepada keluarga, harta, bahkan anak kandungnya sendiri.
Illustration by AI
Ujian Cinta Seorang Kekasih Allah
Nabi Ibrahim a.s. sangat mencintai ayahnya. Namun ketika sang ayah dan masyarakatnya menolak dakwah tauhid, bahkan mengusir dan menghukumnya, Ibrahim tetap teguh dalam keimanan. Al-Qur’an mengabadikan ucapan beliau:
“إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا ۖ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ” “Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar (hanif), dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik.” (QS Al-An’am: 79)
Ujian belum selesai. Nabi Ibrahim membawa istri beliau, Siti Hajar, dan putranya yang masih bayi, Nabi Ismail, ke Makkah. Setelah menempuh perjalanan panjang dengan unta, mereka tiba di sebuah lembah tandus—tempat yang kini menjadi lokasi Masjidil Haram.
Di sanalah Nabi Ibrahim meninggalkan Hajar dan Ismail hanya dengan sedikit bekal. Hajar yang bingung bertanya, “Wahai Ibrahim! Mau ke mana kau meninggalkan kami di tempat seperti ini?” Tapi Ibrahim diam. Sampai Hajar bertanya lagi, “Allahu amaroka bi hadza?” (Apakah Allah yang menyuruhmu melakukan ini?) Ibrahim menjawab, “Na’am.” (Ya). Maka Hajar pun berkata penuh keyakinan, “Idzan la yudlayyi’uni.” (Kalau begitu, Allah tidak akan menyia-nyiakan kami).
Siti Hajar memahami bahwa ini adalah bentuk cinta Allah, walau ia tidak tahu apa yang akan terjadi. Inilah bentuk keimanan dan tawakal yang luar biasa.
Ismail: Ujian yang Lebih Berat
Kisah belum selesai. Ketika Ismail menginjak usia baligh, datang mimpi dari Allah kepada Nabi Ibrahim untuk menyembelih anaknya sendiri. Sebuah perintah yang bagi kebanyakan orang sungguh tak masuk akal. Tapi Nabi Ibrahim tidak serta merta menjalankannya begitu saja—beliau berdiskusi dengan anaknya. Dan Ismail menjawab:
“يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِي إِن شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ” “Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS Ash-Shaffat: 102)
Inilah bukti pendidikan tauhid yang berhasil. Nabi Ibrahim menanamkan cinta kepada Allah lebih dari segalanya. Hasilnya, keluarganya pun menjadi contoh keteladanan luar biasa.
Ustaz Abu Shaffa lalu menyampaikan tiga pelajaran penting dari kisah Nabi Ibrahim:
Cinta kepada Allah harus melebihi ego duniawi.
Ikhlas dan ridho menerima ketetapan Allah adalah puncak iman.
Orang tua harus menjadi role model tauhid bagi anak-anaknya.
Beliau menutup bagian khutbah pertama dengan kalimat yang mengena di hati:
“Setiap kita adalah ‘IBRAHIM’, dan setiap Ibrahim punya ‘ISMAIL’.” Ismailmu bisa jadi hartamu, jabatanmu, gelarmu, atau egomu. Allah tak menyuruh kita menyembelih Ismail, tapi menyuruh kita mematikan rasa kepemilikan terhadap Ismail. Karena hakikatnya, semuanya milik Allah.
Mendekati Dzulhijjah, Mendekatkan Diri
Pada khutbah kedua, Ustaz mengingatkan bahwa kita akan segera memasuki bulan Dzulhijjah, bulan penuh kemuliaan. Di bulan inilah terdapat syariat haji dan kurban, dua ibadah yang merupakan bentuk puncak cinta dan pengorbanan kepada Allah.
Beliau membacakan firman Allah dalam QS Al-Kautsar:
١ – إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ ٢ – فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ ٣ – إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu dan berkurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus.”
Ustaz pun mengajak jamaah untuk mulai menata hati dan menyiapkan kurban, bukan hanya dengan hewan, tapi dengan melepaskan sesuatu yang kita sayangi karena Allah.
Khutbah ditutup dengan doa-doa kebaikan, memohon ampun untuk seluruh umat Islam dan berharap agar kita semua mampu mencintai dengan seimbang dan memprioritaskan cinta kepada Allah.
hartawan alek
10/05/2025 at 10:05 PM
subhanallah…..
🥹🥹🥹
syukron ya ustadz
atas pencerahannya, setidaknya untuk meminimalkan ‘possessive mind’…rasa kemelekatan
🙏
PopRed
13/05/2025 at 8:18 PM
terima kasih sudah comment yang baik. semoga artikel ini bermanfaat. barakallaah