JAKARTA | Waduh, ini beneran bikin geleng-geleng kepala nih, guys! Kabar mengejutkan datang dari Kabupaten Buleleng, Bali. Ternyata ada ratusan siswa SMP yang belum bisa membaca dengan lancar atau bahkan sama sekali gak bisa baca. Dari total 34.062 siswa di Buleleng, sebanyak 155 siswa termasuk dalam kategori tidak bisa membaca (TBM) dan 208 siswa masuk kategori tidak lancar membaca (TLM) . Bayangin aja, anak SMP tapi masih kesulitan baca tulis? Ini serius banget loh!
Menurut Plt Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Disdikpora) Buleleng, Putu Ariadi Pribadi , fenomena ini disebabkan oleh banyak faktor, baik internal maupun eksternal. Nah, kita bahas satu-satu ya biar lebih jelas.
Faktor Internal: Masalah dari Dalam
Faktor internal ini biasanya terkait langsung sama kondisi si anak sendiri. Contohnya:
Kurangnya motivasi belajar : Banyak anak yang mungkin udah bosan atau gak nemuin alasan buat semangat belajar.
Pembelajaran gak tuntas : Kadang guru gak sempet ngajarin sampai benar-benar paham karena waktu pembelajaran terbatas.
Disleksia atau disabilitas lainnya : Ada beberapa anak yang punya gangguan belajar kayak disleksia, tapi gak ketahuan atau gak ditangani dengan baik.
Kurangnya dukungan keluarga : Kalau orang tua gak peduli sama pendidikan anak, ya otomatis anak bakal kesulitan juga.
Faktor Eksternal: Pengaruh Lingkungan Sekitar
Selain faktor internal, ada juga pengaruh dari luar yang bikin siswa gak bisa baca lancar. Beberapa di antaranya adalah:
Efek jangka panjang Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) : Pandemi bikin banyak anak kehilangan momen belajar tatap muka. Akibatnya, pemahaman mereka soal baca-tulis jadi kurang maksimal.
Kesenjangan literasi dari SD : Kalau dasarnya udah lemah pas SD, ya sulit buat ngejar di jenjang SMP.
Pemahaman keliru tentang kurikulum : Guru kadang bingung sama kurikulum baru, jadi metode mengajar jadi gak efektif.
Ancaman hukum dan stigma sosial : Guru takut salah ngajar karena khawatir kena sanksi hukum atau dicap buruk sama masyarakat.
Masalah psikologis akibat keluarga : Anak-anak yang mengalami trauma kayak kekerasan rumah tangga, perceraian orang tua, atau perundungan, biasanya bakal kesulitan fokus belajar.
“Contohnya, ada siswa yang trauma karena kekerasan masa kecil atau korban perundungan,” kata Putu Ariadi, seperti dikutip dari CNN Indonesia.
Ini Bukan Kasus Pertama, Lho!
Kalau kamu mikir ini cuma terjadi di Buleleng, nyatanya enggak, guys. Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji , bilang kalau fenomena ini adalah “gunung es”. Artinya, apa yang terlihat di permukaan cuma sebagian kecil dari masalah yang sebenarnya.
Sebelumnya, sudah banyak daerah lain yang juga melaporkan kasus serupa. Bahkan, ada siswa SMA di beberapa wilayah yang juga gak bisa baca dengan lancar. Sayangnya, masalah ini sering kali diabaikan atau dianggap gak serius. Akhirnya, fenomena ini malah makin merebak deh.
“Indonesia gagal memberikan jenjang dasar pendidikan yang utama, yaitu kemampuan membaca. Ini juga gak lepas dari kebijakan pendidikan yang gagal,” ujar Ubaid.
Kenapa Ini Harus Dianggap Serius?
Membaca itu skill dasar banget, guys. Kalau anak-anak gak bisa baca, gimana mereka mau ngerti pelajaran lainnya? Gimana mereka mau bersaing di dunia kerja nanti? Bahkan, buat urusan sehari-hari kayak baca petunjuk obat atau isi kontrak, mereka bakal kesulitan.
Fenomena ini juga jadi alarm buat pemerintah dan semua pihak terkait. Jangan sampe sistem pendidikan kita gagal ngasih bekal dasar buat generasi muda. Kalau dibiarkan, dampaknya bakal luas bangetāmulai dari rendahnya kualitas SDM sampai potensi ekonomi yang hilang.
Apa Solusinya?
Nah, supaya masalah ini gak makin parah, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan:
Perbaiki sistem pendidikan dasar : Fokus di jenjang SD biar anak-anak udah punya fondasi kuat buat baca-tulis.
Latihan tambahan buat siswa : Berikan program remedial atau bimbingan khusus buat siswa yang kesulitan membaca.
Dukungan psikologis : Pastikan anak-anak yang punya trauma atau masalah keluarga dapet penanganan yang tepat.
Evaluasi kurikulum : Kurikulum harus dirancang dengan cara yang mudah dipahami sama guru dan siswa.
Libatkan keluarga : Orang tua juga harus ikut andil dalam mendukung proses belajar anak di rumah.
Jadi, gimana nih menurut kalian? Apakah ini salah satu tanda kalau sistem pendidikan kita masih perlu banyak perbaikan? Yang jelas, kasus ini harus jadi pelajaran buat semua pihak agar lebih serius ngurusin pendidikan anak-anak kita. Jangan sampe lagi-lagi kita nemuin kasus kayak gini di masa depan. Stay aware, stay critical, dan mari kita sama-sama dorong perubahan buat pendidikan Indonesia yang lebih baik! šš