JAKARTA | Gengs, industri film Indonesia lagi dihebohkan sama kasus boikot yang dialami oleh film A Business Proposal (2025) . Padahal, film ini belum lama dirilis, tapi udah langsung sepi penonton karena ulah salah satu pemainnya, Abidzar Al-Ghifari , yang bikin pernyataan kontroversial. Dia ngaku cuma nonton satu episode dari drama Korea aslinya, Business Proposal (2022) , dan nyebut fans budaya Korea sebagai “fans fanatik.” Waduh, kalimat itu langsung bikin fans drama Korea dan K-Pop di Indonesia murka! Akhirnya, muncul ajakan buat memboikot film ini, dan dampaknya bener-bener kerasa—film ini cuma laku kurang dari 7.000 tiket di hari pertama penayangannya. Ini jadi pelajaran besar buat industri perfilman Tanah Air!
Boikot Bukan Sekadar Fanatisme
Label “fans fanatik” sering dilekatkan ke komunitas penggemar budaya pop Korea di Indonesia. Mereka dianggap konsumtif, obsesif, bahkan agresif kalau ada yang kritik idola mereka. Tapi, dalam kasus A Business Proposal , boikot ini lebih dari sekadar fanatisme buta. Fans kecewa karena merasa para pemain nggak menunjukkan profesionalisme yang layak.
Sejak awal 2000-an, fans Indonesia udah akrab banget sama drama Korea kayak Endless Love (2000), Winter Sonata (2002), dan musik K-Pop dari grup legendaris seperti Super Junior, TVXQ, dan Girls Generation. Dalam perjalanan itu, fans belajar bahwa aktor, aktris, dan idol Korea Selatan selalu memberikan usaha maksimal buat peran atau karier mereka. Misalnya:
Ahn Hyo Seop , pemeran Kang Tae Mo di Business Proposal , rela mengubah tone suara dan gaya berjalannya biar karakternya lebih hidup.
Kim Tae Ri , pemeran Na Hee Do di Twenty Five Twenty One , latihan anggar selama enam bulan dan melakukan perawatan kecantikan agar terlihat lebih muda.
Idol K-Pop juga nggak main-main, latihan nyanyi dan dance berjam-jam tiap hari demi hasil sempurna.
Nah, fans punya ekspektasi tinggi kalau pemain lokal yang adaptasi karya mereka juga bakal nunjukin dedikasi yang sama. Sayangnya, dalam kasus ini, Abidzar malah ngeluarin pernyataan yang dianggap meremehkan fans dan nggak menunjukkan riset mendalam soal karakter yang dia mainkan. Hal inilah yang bikin fans kecewa berat.
Dampak Boikot: Cancel Culture di Indonesia
Boikot ini jadi contoh pertama cancel culture di industri film Indonesia. Fans nggak cuma marah karena pernyataan Abidzar, tapi juga karena merasa film ini nggak menghargai karya aslinya. Minimnya riset, pernyataan kontroversial, dan kurangnya penghargaan terhadap budaya Korea pada akhirnya memicu efek domino—dari kritik hingga boikot massal.
Film A Business Proposal jadi pembelajaran penting buat industri perfilman Indonesia. Adaptasi karya luar negeri nggak bisa dilakukan setengah-setengah. Para aktor dan aktris harus benar-benar mendalami karakter yang mereka mainkan. Nggak cuma buat akting yang bagus, tapi juga buat menghormati budaya dari karya yang diadaptasi.
Pelajaran Buat Industri Film Indonesia
Industri film Korea Selatan udah dikenal dunia karena kerja keras dan dedikasi tinggi. Kalau film remake Indonesia mau diterima dengan baik, standar serupa harus diterapkan. Bukan cuma andalkan popularitas pemain, tapi juga tunjukin kualitas akting yang setara dengan versi aslinya. Selain itu, para pemain juga harus hati-hati dalam berbicara agar nggak bikin pernyataan kontroversial yang bisa merugikan filmnya sendiri.
Kasus ini jadi pengingat bahwa profesionalisme itu penting banget. Fans nggak cuma cari hiburan, tapi juga pengen lihat usaha dan rasa hormat dari para pemain terhadap karya yang mereka adaptasi. Jadi, gimana menurut kamu? Apakah boikot ini beneran cuma soal fanatisme, atau emang karena kurangnya profesionalisme? 😊
Fun Fact: Fans budaya Korea di Indonesia tuh salah satu yang paling loyal di dunia. Mereka nggak cuma konsumsi kontennya, tapi juga belajar banyak hal dari cara kerja industri hiburan Korea. Makanya, kalau ada yang dianggap nggak serius, reaksinya bisa gede banget! 🔥