News
Debat CAPRES Finale: Semua Capres Paparkan Stategi Tingkatkan Harapan Hidup
By VOA
Tiga calon presiden menjelaskan strategi mereka untuk meningkatkan angka harapan hidup dalam debat terakhir yang digelar sepuluh hari sebelum pemilihan presiden 2024.
JAKARTA — Tiga calon presiden Anies Baswedan, Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo adu gagasan dalam debat terakhir pemilihan presiden 2024 yang dilaksanakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Jakarta Convention Center (JCC) Jakarta, Minggu malam (4/2).
Kesehatan merupakan salah satu tema yang dibahas, selain soal kesejahteraan sosial, kebudayaan, pendidikan, teknologi informasi, ketenagakerjaan, sumber daya manusia, dan inklusi.
Dalam sesi pendalaman visi misi, capres nomor urut 3, Ganjar Pranowo ditanya soal peringkat harapan hidup Indonesia dalam “World Population Prospect 2022” yang berada di urutan 10 dari 11 negara Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN).
Ganjar Utamakan Pendekatan Preventif & Promotif
Ganjar Pranowo menggarisbawahi pentingnya pendekatan preventif dan promotif mulai dari pengetahuan masyarakat soal hidup sehat hingga memberikan fasilitas kesehatan ke desa-desa.
“Tadi dalam pembukaan saya sampaikan mesti preventif dan promotif mesti diwujudkan dalam bentuk kepengetahuan kita pada isu kesehatan, minimal untuk kita sendiri, berolahraga, makan sehat, hidup bersih sehat, saya kita itu yang paling baik,” ujar Ganjar.
Meskipun demikian, ia mengakui bahwa angka harapan hidup itu juga dipengaruhi oleh faktor layanan kesehatan hingga hiburan agar masyarakat merasa bahagia. Jika mereka mendapatkan layanan yang baik kata Ganjar, mereka akan senang dan hidupnya akan lebih panjang. Di sini peran penting Posyandu, dasawisma, kelurahan, RT dan RW.
Mantan Gubernur Jawa Tengah ini menjanjikan alokasi wajib anggaran kesehatan sebesar 5-10 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dinilai sebagai salah satu aspek penting dalam meningkatkan angka harapan hidup Indonesia.
Anies Soroti Kinerja Puskemas
Sementara capres nomor urut satu, Anies Baswedan, menyoroti kinerja puskemas yang saat ini masih menangani hal-hal yang bersifat kuratif, padahal idealnya menjalankan program promotif, preventif, dan kuratif secara seimbang. Persoalan kesehatan sedianya tidak saja ditangani oleh Kementerian Kesehatan, tetapi lintas sektor, tambah mantan Rektor Universitas Paramadina ini.
“Unsur pembangunan kesehatan ialah lintas sektoral supaya anggaran tidak hanya ada pada dinas kesehatan, akan tetapi pada semua bidang terkait dengan upaya preventif dan promotif,” kata Anies.
Prabowo Kritik Kurangnya Dokter
Calon presiden nomor urut dua, Prabowo Subianto, menilai salah satu masalah kesehatan yang membuat tingkat harapan hidup warga Indonesia menjadi salah satu yang terendah di ASEAN, adalah karena kurangnya dokter. Ia mencontohkan Atambua, yang seharusnya memiliki 16 dokter, tetapi kini hanya ada satu dokter yang berdinas. Indonesia kekurangan 140 ribu dokter, tegasnya. Ia juga menyoroti kurangnya alat kesehatan yang memadai.
“Jadi solutifnya demikian. Dan yang paling penting dalam preventif adalah makan bergizi untuk anak-anak dan ibu-ibu melahirkan. Makan bergizi ini meningkatkan daya tahan, imunitas dan mencegah penyakit,” ujarnya.
Pengamat: Revitalisasi Puskesmas sebagai Ujung Tombak Kesehatan
Pengamat kesehatan yang juga seorang dokter, Handrawan Nadesul, menilai jawaban para capres mengenai rendahnya harapan hidup warga Indonesia itu masih bersifat normatif. Hal paling penting dan segera yang dibutuhkan warga Indonesia untuk meningkatkan angka harapan hidup – dan kualitas hidup – adalah revitalisasi puskesmas. Ini adalah ujung tombak kesehatan, ujarnya.
Sebenarnya pembangunan kesehatan Indonesia sejak awal, tambahnya, adalah preventif-promotif, namun implementasinya di lapangan ternyata lebih kuratif karena memang dokter lebih sibuk melayani seolah puskesmas programnya hanya kuratif.
“Padahal puskesmas itu ada 12 program yang sebagian besar preventif seperti pelayanan ibu anak (vaksinasi/imunisasi), penyuluhan dan lainnya. Itu semua preventif promotif, cuma implementasinya lebih kuratif karena pasien bolak balik dengan penyakit yang sama karena tidak diberikan edukasi. Jadi puskesmas yang berhasil adalah yang pengunjungnya semakin sedikit. Kalau puskesmas pengunjungnya banyak yang berobat berarti puskesmas ini tidak membina masyarakat yang menjadi tanggung jawabnya,” ungkap Nadesul.
Ditambahkannya, berapapun anggaran kesehatan yang dialokasikan, tidak akan meningkatkan derajat kesehatan jika orientasi program-programnya bukan soal preventif-promotif.
Dr. Handrawan Nadesul: Gaji Dokter Terlalu Rendah
Banyak puskesmas sekarang, kata Nadesul, yang tidak ada dokternya. Dia lebih setuju kepala puskesmas tidak harus dokter tetapi berasal dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) karena Puskemas lebih menjalankan fungsi manajerial bukan medis. “Bagaimana me-manage supaya masyarakat itu sehat,” ujarnya.
Nadesul juga menyoroti rendahnya gaji para dokter di puskesmas, sehingga mereka harus mencari “tambahan” di mana-mana untuk mencukupi kebutuhan hidup.
Guna mempercepat penyuluhan kesehatan nasional, Nadesul mengusulkan untuk mengaktifkan kembali fungsi radio. Pemerintah berkewajiban mendidik warga, dan radio bisa menjadi salah satu piranti yang paling efektif. “Edukasi penyakit-penyakit tropis, penyakit yang bisa dicegah – seperti cacingan, TBC, demam berdarah, tipus, dll – dapat dilakukan lewat penyuluhan. Masyarakat membutuhkan penyuluhan-penyuluhan ini supaya tidak jatuh sakit,” ujarnya.
WHO: Anggaran Kesehatan Indonesia Salah Satu Terendah di Dunia
Badan Kesehatan Dunia (WHO) menempatkan Indonesia di peringkat 92 daftar negara dengan tingkat kesehatan terbaik. Dengan jumlah penduduk 270 juta jiwa, Indonesia sedianya membutuhkan 270.000 dokter, tetapi saat ini hanya tersedia 110.000 dokter. Anggaran kesehatan Indonesia adalah 2,9% dari GDP, atau berarti salah satu yang terendah di dunia. Pemerintah Indonesia telah menerapkan skema jaminan kesehatan yang baru, meskipun ada pembatasan untuk jenis penyakit dan layanan kesehatan yang dapat diberikan.
Data di Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan umur harapan hidup Indonesia terus meningkat dari 2019 hingga 2022. Pada 2022, umur harapan hidup Indonesia untuk laki-laki adalah 69,93 tahun; sementara perempuan lebih tinggi yakni 73,83 tahun.
Namun, angka BPS itu berbanding terbalik dengan data Global Health Observatory Data Repository dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang menunjukkan usia masyarakat Indonesia pada tahun 2022 semakin pendek, bila dibandingkan dengan 2010, dari 68,5% turun menjadi 67,6%. Jika merujuk data WHO Itu maka rata-rata usia warga Indonesia pada tahun 2022 adalah 67,6 tahun atau berartu turun 0,9 tahun dibanding tahun 2010.
sumber berita voaindonesia