News
Warga Jakarta Tercekik Polusi Udara
By VOA
JAKARTA — Saat anak-anak bermain di jalanan, asap gas berbahaya keluar dari pembangkit listrik tenaga batu bara di dekatnya. Abu dan bau asap membubung di udara, di atas perkampungan di mana Edy Suryana tinggal. Selama lebih dari tiga puluh tahun ia hidup di bawah bayang-bayang pembangkit listrik di Cilegon, kota yang terletak hanya 97 kilometer dari Jakarta.
Edy Suryana dan sejumlah warga kampung itu telah menyaksikan bagaimana orang-orang yang mereka cintai menderita karena batuk, kulit gatal dan masalah kesehatan lain, yang diyakini banyak orang disebabkan oleh kabut asap yang selalu menyelimuti kawasan itu.
Polusi telah meningkatkan kasus penyakit pernafasan dan kematian di bagian utara Pulau Jawa itu. Termasuk di ibu kota Jakarta, yang menurut data yang dikumpulkan perusahaan teknologi udara Swiss, IQAir, merupakan salah satu kota paling tercemar di dunia.
Kombinasi Polusi Asap
Kabut asap di kota metropolitan berpenduduk 11, 2 juta jiwa ini berasal dari kombinasi asap knalpot kendaraan dan sepeda motor, pembakaran sampah dan industri, serta asap dari pembangkit listrik tenaga batu bara. Emisi dari pembangkit listrik tenaga batu bara ini berkontribusi pada naiknya gas rumah kaca ke atsmofir, yang ikut memanaskan bumi. Hal-hal ini merupakan fokus utama KTT Iklim PBB – atau dikenal sebagai COP28 – yang berlangsung pekan lalu di Dubai, Uni Emirat Arab.
Negara-negara seperti Indonesia sedang berjuang keras untuk menyeimbangkan peningkatan permintaan untuk menggerakkan industrialisasi, dengan kebutuhan mengurangi emisi karbon dan melindungi kesehatan masyarakat.
Edy Suryana melihat sendiri bagaimana kakak iparnya meninggal karena masalah paru-baru pada tahun 2010. Dan sembilan tahun kemudian, udara yang kotor telah memperburuk penyakit TBC yang diderita putrinya.
“Kami jelas terkena dampaknya. Tahun 2010 kakak ipar saya meninggal setelah menikah satu tahun dengan adik saya. Paru-parunya terbakar, padahal dia tidak merokok,” tuturnya.
Beragam Masalah Kesehatan Akibat Polusi Udara
Biasanya warga yang sehat mengeluhkan gatal-gatal di bagian mata dan sakit tenggorokan ketika tingkat polusi udara melonjak melampaui tingkat yang dianggap aman oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan pemerintah Indonesia. Juru bicara Kementerian Kesehatan Indonesia mengatakan kasus infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) dan pneumonia memang telah meningkat. Ia juga mengakui bahwa polusi udara di Jakarta telah melampaui batas aman WHO.
Data dari Dinas Kesehatan DKI Jakarta menunjukkan jumlah warga yang dirawat karena pneumonia pada bulan Januari – Agustus meningkat dua kali lipat dibanding periode yang sama tahun sebelumnya, yaitu 9.192 kasus.
Dokter spesialis paru atau pulmonolog di RS Persahabatan, Feni Fitriani, mengatakan, “Jika Anda melihat hal ini secara subyektif, gejala batuk dan pilek berkepanjangan seringkali dialami warga usia kerja, atau generasi angkatan pekerja. Batuk dan pilek yang mereka derita seringkali lebih lama dibanding biasanya. Mereka biasanya hanya mengalami hal ini selama 3-5 hari. Sekarang ini setelah 2-3 minggu pun batuknya masih berlanjut.”
Ribuan Kematian dan Rawat Inap Akibat Polusi
Menurut penelitian Vital Strategies, sebuah LSM kesehatan masyarakat global yang berkantor di New York, polusi udara berpotensi menyebabkan lebih dari 10.000 kematian dan 5.000 rawat inap di Jakarta pada tahun 2019.
Kembali dr. Feni Fitriani menjelaskan, “Kualitas udara yang menunjukkan indeks 145-150 atau lebih, berarti tidak sehat bagi kelompok tertentu. Jika sudah melampaui indeks 150 berarti sudah tidak sehat bagi semua orang. Beberapa bulan terakhir ini kualitas udara di sekitar kita tidak sehat.”
Indeks kualitas udara mengkaji seberapa bersih atau tercemarnya udara setiap hari. Indeks ini berkisar dari nol hingga 500. Semakin tinggi angkanya, semakin buruk kualitas udaranya.
Jumlah pasien dengan infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) dan pneumonia yang datang ke RS Persahabatan, satu rumah sakit khusus penyakit paru-paru, antara bulan Januari dan Agustus telah berlipat, tambah Feni Fitriani.
“Untuk dua diagnosa ini, ISPA dan pneumonia, ada peningkatan kunjungan ke poliklinik hingga 100 persen, yang berarti lebih banyak orang yang datang dengan gejala dan diagnose ini dibanding tahun-tahun sebelumnya. Banyak diantara mereka berada di usia kerja dan mengeluhkan batuk dan pilek berkepanjangan,” ungkap Feni.
Banyak warga Jakarta yang terpaksa berada di jalan-jalan yang tercemar polusi parah untuk mencari nafkah. Salah seorang di antaranya adalah Misnar, seorang pedagang kaki lima, menghabiskan hari-harinya dengan bekerja di luar ruangan.
Misnar dirawat di rumah sakit pada bulan September lalu dan telah menghabiskan hari-hari perawatannya di ruang udara khusus untuk mengobati pneumonia akut yang dideritanya. Putri sulungnya, Siti Nurhazanah, mengatakan kondisi kesehatan ayahnya memburuk karena rutin bekerja di luar ruangan, di tengah udara yang tercemar.
Dokter menyarankan agar Misnar berada di dalam rumah dulu setelah diizinkan meninggalkan rumah sakit. Tetapi selama ini ia mencari nafkah dengan menjual barang di jalan. Jadi satu-satunya pilihan Misnar adalah mengenakan masker untuk membantu menyaring udara kotor yang dihirupnya.
“Saya ingin agar ayah tetap di rumah saja. Ayah saya sudah tua, sudah 63 tahun. Udara buruk berdampak terhadap kondisi kesehatannya,” tukas Nurhazanah.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia mengatakan menyelesaikan masalah polusi memang rumit. Emisi dari pembakaran batu bara, yang sangat menimbulkan polusi, berkontribusi pada sepertiga polusi udara di Indonesia. Pemerintah telah berjanji akan mengurangi emisi dalam beberapa dekade mendatang, namun masih harus menyediakan sebagian besar kebutuhan energi Indonesia.
Sri Anindiati Nursastri baru-baru ini juga menderita penyakit pernafasan. Ia menilai pemerintah seharusnya mengambil lebih banyak langkah untuk menyelesaikan isu polusi udara ini.
“Saya kira pemerintah sedianya dapat mengambil lebih banyak tindakan. Mungkin selain melakukan pemantauan, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika BMKG dapat membuat lebih banyak hujan buatan. Juga saya dengar pembangkit listrik tenaga batu bara dapat mengurangi produksinya untuk mengurangi polusi. Mungkin mereka dapat melakukan lebih banyak hal-hal seperti itu,” harapnya.
Mungkinkah Kendaraan Listrik Selesaikan Masalah Polusi?
Jutaan kendaraan dan sepeda motor mengeluarkan emisi saat para pekerja yang menggunakannya bepergian ke dan di dalam kota. Transportasi umum masih terbatas dan penggunaan kendaraan listrik masih lambat.
Menurut Kementerian Perhubungan, data pada tahun 2022 menunjukkan ada 26.100 kendaraan listrik dan 79.700 sepeda motor listrik yang beroperasi di Indonesia, atau kurang dari satu persen dari lebih 17,2 juta mobil dan 125,2 juta sepeda motor yang terdaftar.
Pemerintah Indonesia berupaya menghadirkan lebih dari 530.000 kendaraan listrik di Indonesia pada akhir tahun 2030. Kajian Vital Strategies menunjukkan untuk mengurangi polusi secara nyata, pemerintah juga perlu memperkuat peraturan emisi dari pabrik dan industri, di dalam dan sekitar ibu kota Jakarta.
sumber berita https://www.voaindonesia.com/a/polusi-kendaraan-pembakaran-sampah-dan-pltu-batu-bara-cekik-warga-jakarta/7385682.html