Badan PBB Untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan (UNESCO) menetapkan Sumbu Filosofi Yogyakarta sebagai warisan dunia. Keputusan ini disampaikan dalam sidang Komite Warisan Dunia UNESCO di Riyadh, Arab Saudi, pada Senin (18/9). Sidang itu dihadiri oleh Wakil Gubernur Yogyakarta KGPAA Sri Paduka Paku Alam ke-10.
“Selamat kepada Indonesia karena Sumbu Filosofi Yogyakarta menjadi Warisan Budaya Dunia,” ujar Ketua Komite Warisan Dunia UNESCO Abdulelah Al-Tokhais dalam pernyataan resmi yang diterima pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta hari Selasa (19/9).
Gubernur Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono ke-10 mengatakan keberhasilan ini merupakan hasil kerja sama seluruh pihak, dan merupakan penghormatan pada mahakarya Sri Sultan Hamengku Buwono ke-1 sebagai penggagas Poros Filosofi.
“Kami berharap penetapan ini dapat dijadikan ajang pembelajaran bersama akan nilai-nilai universal yang diperlukan untuk menciptakan dunia baru yang lebih baik di masa depan,” ujarnya kepada wartawan di Yogyakarta.
Sementara kepada VOA, Permaisuri Kasultanan Yogyakarta, Gusti Kanjeng Ratu Hemas mengatakan kabar ini memang sudah ditunggu-tunggu.
“Memang kita sudah menunggu penilaian cukup lama, di antaranya penertiban Malioboro, yang dilakukan untuk mewujudkan (Yogyakarta) sebagai warisan kota budaya dunia; setelah sebelumnya jadi Kota Batik Dunia,” ujarnya lewat pesan teks.
Kawasan sumbu filosofi yang disebut UNESCO itu merujuk pada garis imajiner yang menghubungkan Panggung Krapyak dan Tugu Yogyakarta, yang juga mencakup Malioboro dan Keraton Yogyakarta. Ini merupakan konsep tata ruang yang dibuat raja pertama Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono I, pada abad ke 18, yang berdasarkan konsepsi Jawa.
Tiga titik yang ada – yaitu Panggung Krapyak, Keraton Yogyakarta dan Tugu Yogyakarta (atau disebut juga Tugu Golong Gilig) – jika ditarik suatu garis lurus maka akan membentuk sumbu imajiner yang dikenal sebagai Sumbu Filosofi Yogyakarta.