Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (Dirjen KSDAE), Satyawan Pudyatmoko, mengatakan spesies-spesies baru itu ditemukan di sejumlah wilayah Indonesia.
“Salah satu spesies endemik yang berhasil ditemukan pada tahun 2022 adalah Hanguana Sitinurbayai. Ini merupakan satu-satunya spesies hanguana yang tumbuh di hutan pegunungan berlumut. Spesies ini ditemukan di Cagar Alam Gunung Nyiut, Provinsi Kalimantan Barat,” kata Satyawan, Senin (21/8).
Hanguana Sitinurbayai termasuk ke dalam famili hanguanaceae, tumbuhan endemik Kalimantan yang mampu hidup di rawa pada ketinggian 1.540 meter di atas permukaan laut.
Spesies flora baru lain yang ditemukan adalah Bulbophyllum Wiratnoi. Spesies yang ditemukan di wilayah Sorong, Papua Barat ini sebetulnya sudah ditemukan pada 2018, tetapi baru dipublikasikan di awal 2023.
Bulbophyllum Wiratnoi merupakan spesies anggrek dengan habitus epifit atau tumbuhan yang menumpang pada tumbuhan lain, tapi tidak mengambil unsur hara secara langsung dari inangnya. Tumbuhan itu ditemukan di ekosistem hutan hujan tropis dataran rendah dengan ketinggian 114 meter di atas permukaan laut.
“Spesies baru fauna yang ditemukan adalah Myzomela Irianawidodoae yang ditemukan di Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur,” ucap Satyawan.
Myzomela Irianawidodoae adalah satwa endemik Pulau Rote yang termasuk dalam famili meliphagidae, dengan status dilindungi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya. Ciri-ciri burung ini adalah bagian kepala hingga dada atas dan tengkuk berwarna merah; punggung dan ekor berwarna hitam; dan sayap berwarna hitam bercampur abu-abu gelap.
“Kita berharap setelah penemuan ini ada eksplorasi dan ekspedisi lanjutan di tempat lain, sehingga akan makin banyak terkuak kekayaan hayati yang sampai saat ini belum dikenal,” ujarnya.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar, mengatakan lebih dari 90 spesies baru telah ditemukan dalam kurun waktu 2021-2023. Penemuan spesies baru itu berdasarkan eksplorasi dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
“Masih banyak lagi jenis tumbuhan dan satwa liar selain mikrob yang belum terindetifikasi dan tereksplorasi yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia,” ucapnya.
Siti menilai penemuan berbagai spesies baru dapat menjadi angin segar dan harapan bagi upaya konservasi di Indonesia. Penemuan itu juga menjadi salah satu indikator bahwa kondisi keanekaragaman hayati di Indonesia masih sangat melimpah.
“Kekayaan ini merupakan anugerah yang harus dijaga. Kolaborasi dan dukungan multi pihak tentunya selalu dibutuhkan dalam menciptakan hutan lestari yang kaya akan biodiversitas,” katanya.
Bukan hanya itu, penemuan spesies baru tersebut juga menjadi penting untuk pengetahuan alam Indonesia serta sebagai upaya pengayaan spesies dan genetik.
“Untuk mencerdaskan kehidupan masyarakat. Lalu, untuk eksplorasi sumber daya alam hayati, spesies, dan genetik yang dapat secara langsung menyejahterakan masyarakat. Masyarakat makin cerdas bahwa kita punya ini dan perspektif hutan kita diperkaya oleh ilmu pengetahuan,” tandas Siti.
Indonesia terletak di dua wilayah biogeografi Australasia dan Indomalaya serta memiliki zona transisi Wallace. Dengan demikian Indonesia memiliki banyak satwa endemik yang tidak dimiliki oleh negara lain. Indonesia juga merupakan habitat bagi 17 persen satwa liar dunia dengan lebih dari seribu spesies yang berbeda.
Peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Amir Hamidy, mengatakan hal tersebut membuat Indonesia diberkahi zona biogeografi yang unik. “Kita mempunyai kekayaan endemisitas yang tinggi. Jadi kekayaan endemisitas yang tinggi belum tentu memiliki populasi yang tinggi. Tapi populasinya biasanya sedikit tapi sangat unik,” katanya.
Amir pun mengungkapkan banyak kawasan di Indonesia yang masih terlindungi dan belum dieksplorasi sehingga spesies-spesies baru sangat mungkin ditemukan.
“Hampir seluruh wilayah Indonesia merupakan hotspot biodiversitas. Kalau diukur dalam kekayaan biodiversitas pasti akan tinggi dalam konsep jumlah genetik maupun ekosistem,” ungkapnya
Amir mengatakan, untuk mempercepat penemuan spesies baru, Indonesia perlu mendalami teknologi molokuler, dan memperkuat kolaborasi antar kementerian, lembaga, dan akademisi.
“Jangan sampai spesies baru belum ditemukan atau belum diberi nama itu sudah punah atau justru kita tidak tahu manfaatnya. Untuk tahu manfaatnya, kita mengetahui dahulu nama dan fungsi ekologi serta fisiologi. Lalu, ke ranah peningkatan pemanfaatan yang berkesinambungan,” pungkas Amir.