Polisi mengungkap bahwa siswa pelaku peledakan di SMAN 72 Kelapa Gading, Jakarta Utara merasa tertindas, menaruh dendam dan bergabung dengan grup kekerasan. (Foto/Isra Triansyah)
Polisi ungkap motif siswa pelaku ledakan di SMAN 72 Jakarta Utara. Awalnya merasa tertindas dan kesepian, lalu terjerumus ke komunitas online yang mengagungkan kekerasan.
JAKARTA | Polisi akhirnya buka suara soal kasus ledakan yang bikin geger di area masjid SMAN 72 Jakarta, Kelapa Gading, Jakarta Utara. Pelakunya ternyata seorang siswa (Anak Berhadapan dengan Hukum / ABH) yang punya sisi gelap di balik kesehariannya sebagai pelajar biasa.
Menurut penjelasan AKBP Mayndra Eka Wardhana, juru bicara Densus 88 Anti Teror Polri, siswa itu sudah lama menyimpan rasa tertindas dan dendam terhadap perlakuan orang-orang di sekitarnya.
“Dari awal tahun, dia mulai merasa tertindas, kesepian, dan nggak tahu harus cerita ke siapa. Akhirnya dia cari-cari hal terkait kekerasan dan mulai terpengaruh sama komunitas yang mengagungkan tindakan brutal,” ungkap Mayndra dalam konferensi pers di Mapolda Metro Jaya, Selasa (11/11/2025).
Terjerumus ke Komunitas yang Kagumi Kekerasan
Awalnya cuma penasaran. Tapi dari situ, si pelaku mulai aktif di komunitas media sosial yang isinya orang-orang mengagumi kekerasan. Di grup itu, pelaku melihat banyak konten penembakan dan kekerasan ekstrem yang dianggap “heroik” oleh sesama anggota.
“Ketika ada pelaku yang melakukan kekerasan dan mengunggahnya ke media sosial, komunitas tersebut malah memberi apresiasi. Itu yang bikin dia semakin terdorong untuk melakukan hal serupa,” kata Mayndra.
Pelaku bahkan sempat mencari tahu soal cara-cara kematian dan konten kekerasan ekstrem lainnya. Dari sana, pikirannya makin terjebak ke arah negatif dan berujung pada tindakan berbahaya yang dilakukan di lingkungan sekolah sendiri.
Terinspirasi Pelaku Penembakan Dunia
Yang bikin miris, siswa ini juga mengidolakan para pelaku penembakan massal di luar negeri. Ia bahkan menuliskan nama-nama mereka di senjata mainan yang dibawa saat beraksi.
Densus 88 mengungkap ada enam nama pelaku penembakan dunia yang dia tulis, termasuk:
Alexandre Bissonnete, pelaku penembakan di Quebec City, Kanada (2017)
Luca Traini, penembak enam migran Afrika di Italia (2018)
Brenton Harrison Tarrant, pelaku penembakan massal di dua masjid Selandia Baru (2019)
Tindakan itu menunjukkan seberapa jauh pelaku sudah terinspirasi oleh tokoh-tokoh yang salah arah.
Tertutup dan Jarang Bergaul
Sementara itu, Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Asep Edi Suheri juga menegaskan kalau pelaku dikenal sebagai anak yang tertutup dan jarang bersosialisasi.
“Dia jarang bergaul, lebih sering menyendiri, dan punya ketertarikan tinggi pada konten kekerasan,” ujar Irjen Asep.
Polisi kini masih mendalami sejauh mana pengaruh komunitas tersebut terhadap pelaku dan dari mana ia mendapatkan bahan untuk membuat ledakan yang sempat mengguncang area sekolah itu.
Kasus Ini Jadi Warning Serius
Kasus ini bukan cuma soal satu anak yang tersesat, tapi juga jadi alarm buat semua pihak sekolah, orang tua, dan lingkungan sekitar. Banyak remaja yang merasa tertindas atau kesepian bisa dengan mudah terseret ke arah ekstremisme jika nggak ada tempat buat mereka curhat atau merasa diterima.
Polisi masih melakukan penyelidikan lanjutan, sementara pelaku sudah diamankan untuk pemeriksaan intensif.