Gubernur Riau, Abdul Wahid ditetapkan sebagai tersangka korupsi proyek PUPR pada Rabu (5/11/2025). (Foto: iNews.id/Arif)
Skandal baru di Riau makin bikin geleng kepala. KPK ungkap Gubernur Abdul Wahid diduga minta “jatah preman” miliaran rupiah dari bawahannya, sampai-sampai ada yang harus ngutang ke bank buat nyanggupin.
JAKARTA | Gubernur Riau Diduga Minta “Jatah Preman”, Bawahan Sampai Ngutang ke Bank.
Kasus dugaan korupsi di Riau lagi-lagi bikin heboh. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru aja mengungkap fakta mengejutkan: sejumlah Kepala UPT di Dinas PUPR PKPP sampai harus pinjam uang ke bank demi memenuhi “jatah preman” yang diminta Gubernur Riau, Abdul Wahid.
Menurut Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, para Kepala UPT terpaksa cari pinjaman karena tekanan dari atas.
“Ada yang pakai uang pribadi, ada juga yang pinjam ke bank. Itu yang kami dengar langsung dari mereka,” ujar Asep di Gedung Merah Putih KPK, Rabu (5/11/2025).
Asep bilang, kondisi ini sangat memprihatinkan, apalagi di tengah situasi keuangan daerah yang sedang defisit APBD.
“Harusnya kalau lagi susah, ya jangan malah minta uang ke bawahan. Ini ironis banget. Anggaran lagi seret, tapi tetap aja dipaksa setor,” lanjutnya.
Modusnya: “Fee” dari Kenaikan Anggaran Jalan dan Jembatan
Kasus ini bermula dari penambahan anggaran tahun 2025 di Dinas PUPR PKPP Riau, khususnya untuk UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I–VI. Menurut Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak, anggaran yang awalnya Rp71,6 miliar naik jadi Rp177,4 miliar alias naik Rp106 miliar.
Nah, dari kenaikan itu, Gubernur Abdul Wahid diduga minta “fee” alias jatah 5 persen, yang nilainya mencapai Rp7 miliar.
“Awalnya disepakati 2,5 persen, tapi kemudian naik jadi 5 persen setelah disampaikan ke Kepala Dinas,” kata Tanak.
Jadi ceritanya, sekitar Mei 2025, Sekretaris Dinas PUPR-PKPP Riau Ferry Yunanda kumpul bareng enam Kepala UPT Wilayah I–VI di sebuah kafe. Dari situ, mereka sepakat kasih fee ke Gubernur. Tapi begitu disampaikan ke Kepala Dinas, M. Arief Setiawan (yang mewakili Abdul Wahid), angka fee-nya malah naik dua kali lipat.
Ancaman Mutasi dan Istilah “Jatah Preman”
Buat yang nggak nurut? Siap-siap diancam dicopot atau dimutasi dari jabatannya. Praktik ini ternyata udah lumrah disebut “jatah preman” di kalangan Dinas PUPR PKPP Riau.
“Bagi yang nggak mau setor, bisa kena mutasi. Jadi ya mau nggak mau, mereka nurut,” ujar Tanak.
KPK: Ironi di Tengah Krisis Anggaran
KPK menilai praktik kayak gini bukan cuma soal pelanggaran hukum, tapi juga potret buruk kepemimpinan di daerah. Di saat APBD Riau lagi defisit dan banyak proyek tertunda, justru muncul “pungutan” ke bawahannya.
Asep menegaskan, KPK bakal mendalami aliran dana dan siapa aja pihak yang terlibat.
“Kita akan telusuri semua. Mulai dari mekanisme anggaran sampai penggunaan dana hasil pemerasan itu,” katanya.
Kesimpulan
Kasus ini jelas nunjukin betapa rusaknya sistem kalau pejabat publik malah jadi “pemalak” buat keuntungan pribadi. Kepala UPT yang harusnya fokus ngerjain proyek malah tertekan harus setor ke atasan.
Sekarang, publik cuma bisa nunggu langkah tegas KPK buat ngebongkar semua pihak yang ikut main di balik skandal “jatah preman” Rp7 miliar ini.