Health

AI Mulai Kerja di Rumah Sakit: Dokter Siap-Siap Ganti Cara Kerja

Published on

Foto: Ilustrasi dokter. (Dok: Freepik)

Teknologi kecerdasan buatan (AI) makin dalam masuk ke dunia medis. Dari bantu tulis catatan dokter sampai atur jadwal pasien, AI siap ubah cara kerja rumah sakit. Tapi, apakah tenaga medis udah siap?

JAKARTA | AI Masuk Rumah Sakit, Pekerja Medis Siap-Siap

Teknologi Artificial Intelligence (AI) makin serius “nyemplung” ke dunia kesehatan. Dulu AI cuma bantu analisis gambar medis atau deteksi kanker, sekarang dia mulai “ngurusin” bagian yang paling ribet di rumah sakit: pekerjaan administrasi.

Bayangin aja, dari jadwal pasien, catatan medis, sampai laporan hasil lab semua bisa di-handle AI. Tujuannya? Biar dokter dan tenaga medis punya waktu lebih banyak buat ngurus pasien, bukan kertas kerja.

Dari Analisis Medis ke Urusan Administrasi

Nama besar kayak Epic Systems udah investasi besar-besaran di fitur AI buat dunia kesehatan. Teknologi mereka bisa bantu pasien bikin janji temu, ngerti hasil lab sendiri, bahkan bantu dokter nyusun catatan medis otomatis.

Nggak cuma itu, sistem AI juga bisa nyiapin data penting kayak tren tekanan darah atau hasil tes sebelumnya. Jadi, pas dokter buka data pasien, semua info penting udah tersaji rapi tanpa harus ngetik manual.

Fenomena ini juga bikin muncul banyak startup baru di bidang health-tech. Menurut laporan Silicon Valley Bank, lebih dari 60% investasi ventura AI di dunia kesehatan (2019–2024) difokusin buat solusi administratif dan klinis alias bagian yang sering bikin tenaga medis burnout.

Abridge: Dokter Cuma Ngobrol, Catatan Medis Kelar

Salah satu pemain yang lagi naik daun adalah Abridge. Startup ini punya sistem AI yang bisa mentranskripsi percakapan antara dokter dan pasien secara otomatis. AI-nya nggak cuma nyatet kata per kata, tapi juga nambahin konteks dari data pasien sebelumnya kayak hasil tes atau diagnosis lama.

Artinya, dokter bisa fokus ngobrol sama pasien, bukan sibuk ngetik di laptop.

“Dokter sekarang bisa habisin dua jam buat kerjaan administratif digital hanya untuk setiap satu jam perawatan pasien,” kata Zachary Lipton, Co-Founder dan CTO Abridge, di CNBC AI Summit di Nashville, Sabtu (18/10/2025).

“Ironisnya, dunia digital yang seharusnya bantu dokter malah bikin mereka makin jauh dari pasiennya,” lanjutnya.

Burnout Jadi Masalah Serius

Di forum yang sama, Steve Beard, CEO Adtalem Global Education, bilang hal senada. Menurut survei yang mereka lakukan, beban administratif adalah penyebab utama burnout dan ketidakpuasan karier di kalangan tenaga medis.

Makanya, kehadiran AI di rumah sakit bisa dibilang jadi game changer asal dipakai dengan benar.

Tapi, Tenaga Medis Siap Nggak Nih?

Masalahnya, nggak semua tenaga medis siap adaptasi. Data dari Inlightened, platform teknologi kesehatan, nunjukin cuma 28% dokter yang ngerasa siap manfaatin AI. Padahal, 57% udah pakai AI buat hal-hal basic kayak pencatatan, penagihan, atau diagnosis.

Ada semacam gap antara penggunaan dan pemahaman. Banyak dokter pakai AI tapi belum sepenuhnya ngerti cara maksimalkannya.

Ancaman atau Peluang?

Seperti di sektor lain, AI juga bikin muncul kekhawatiran soal hilangnya lapangan kerja. Banyak CEO bilang AI bisa ningkatin produktivitas tanpa perlu nambah tenaga kerja baru.

Tapi Beard ngingetin, unsur manusia dalam dunia medis nggak bisa diganti mesin.

“Kepercayaan antara dokter dan pasien itu hal yang nggak bisa diotomatisasi,” katanya.

Kesimpulan: Masa Depan Kesehatan = Kolaborasi, Bukan Kompetisi

AI bukan datang buat “nyingkirin” tenaga medis, tapi justru bantu mereka kerja lebih efisien dan manusiawi. Tantangannya sekarang bukan lagi apakah AI bisa dipakai, tapi seberapa siap manusia di dunia medis buat beradaptasi.

Buat tenaga medis, mungkin saatnya belajar “berdamai” sama AI bukan takut diganti, tapi siap kolaborasi. Karena masa depan kesehatan bisa jadi makin canggih, asal tetap punya sentuhan manusia.

source cnbcindonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Exit mobile version