Lifestyle

Performative Male: Pria Catchy Doyan Matcha yang Lagi Viral di Media Sosial

Published on

Ilustrasi. Fenomena ‘performative male’ yang sering digambarkan sebagai pria lembut penyuka matcha kini tengah jadi buah bibir. (ilustrasi: AI)

JAKARTA, POPERS.ID | Yo, guys, dunia maskulinitas lagi berubah banget, bro! Dulu, cowok identik sama image tangguh, pendiam, kayak pahlawan di film action. Tapi sekarang? Beda cerita. Sekarang, cowok kekinian lebih open sama perasaan, rapi, dan peduli sama penampilan. Nah, dari perubahan ini, muncul istilah kece: performative male. Apa sih itu? Dan kenapa istilah ini lagi hits banget di media sosial? Baca terus, bro!

Kompetisi Performative Male di Jakarta

Minggu lalu, Jakarta bener-bener heboh, guys! Ada kompetisi seru di ibu kota yang ngadu para cowok buat jadi Most Performative Male. Bukan sembarang lomba, ini tentang siapa yang paling bisa nunjukin vibe modern, stylish, dan “sadar” sama emosi. Bayangin, cowok-cowok ini dateng bawa tote bag, nyeruput matcha latte, sambil ngomongin buku feminis kayak karya Virginia Woolf atau Simone de Beauvoir. Keren, kan? Tapi, apa bener mereka sesadar itu, atau cuma buat gaya doang? Hmm, kita kulik bareng!

Performative Male Itu Siapa Sih?

Ilustrasi. Performative male kini tengah jadi istilah yang ramai jadi buah bibir. (ilustrasi: AI)

Jadi gini, bro, performative male bukan tipe cowok yang stuck di kursi gaming pake kaos lusuh atau yang hobi naik gunung dengan gaya petualang. Mereka ini cowok yang tampil beda: bawa tote bag, pesen matcha latte di kafe estetik, dan bisa ngobrol panjang soal zodiak atau kesehatan mental. Mereka keliatan modern, open-minded, dan jauh dari vibe maskulinitas toksik yang kuno itu.

Tapi, tunggu dulu. Menurut artikel di Stuff, performative male ini adalah cowok yang keliatannya progresif, emosional, dan lembut, tapi cuma di permukaan. Mereka mungkin post di Instagram soal “healing” atau baca buku feminis, tapi kadang itu cuma buat nunjukin ke cewek modern bahwa mereka “berbeda”. Bukan karena mereka bener-bener paham atau pengen berkembang secara pribadi. Jadi, kayak main peran gitu, bro.

Apa Beneran Positif?

Fenomena ini sebenarnya keren, sih. Bayangin, dulu cowok gengsi banget ngomongin perasaan atau ngaku suka hal-hal yang dianggap “cewek banget”. Sekarang, cowok yang terbuka sama emosi dan peduli kesehatan mental udah jadi tren. Tapi, masalahnya, kadang performative male ini cuma fokus sama image, bukan beneran ngejalanin nilai-nilai itu. Mereka pengen keliatan estetik, pengen divalidasi, dan pengen diterima, tapi gak selalu pengen ngertiin orang lain, terutama cewek, secara mendalam.

Contohnya, mereka mungkin ngomong soal luka batin atau post kutipan bijak di Instagram Stories, tapi pas diminta tanggung jawab atau dikritik, eh, malah baper atau main korban. Jadi, kayaknya mereka hadir buat keliatan “sehat” secara emosional, bukan buat beneran bangun hubungan yang genuine.

Media Sosial Jadi Pemicunya

Fenomena performative male ini gak muncul dari langit, bro. Media sosial punya peran besar banget. Di era Instagram dan TikTok, self-awareness jadi kayak konten yang laku keras. Lo pernah lihat kan, carousel aesthetic tentang “introspeksi diri” atau kutipan motivasi dari buku populer? Nah, itu semua kayak “mata uang” di dunia digital. Menurut Esquire, istilah performative male mulai rame di platform kayak TikTok, terutama di kalangan Gen Z cowok umur 20-an. Mereka presentasi diri sebagai orang yang artsy, dewasa, dan emosional di depan publik.

Tapi, keyword-nya: di depan publik. Kadang, ini cuma soal pengen dapet perhatian atau validasi, bukan karena mereka beneran yakin sama nilai-nilai yang mereka omongin. Misalnya, mereka bisa aja post soal empati atau feminisme, tapi pas di kehidupan nyata, gak sepenuhnya ngejalanin apa yang mereka post.

Bukan Berarti Salah, Tapi…

Jangan salah paham, ya. Gak ada yang salah kalau cowok pengen lebih open sama perasaan, suka matcha, atau nyaman sama sisi feminin mereka. Itu malah langkah positif banget, bro! Yang jadi masalah cuma kalau semua itu cuma “panggung” buat nyari perhatian, bukan karena beneran pengen berubah atau ngertiin orang lain. Mereka kayak main peran sebagai cowok sensitif, tapi gak sepenuhnya hidup dalam nilai-nilai itu.

Budaya media sosial emang bikin cowok merasa harus keliatan sensitif, tapi dalam batas yang masih nyaman buat ego mereka. Jadi, mereka mungkin ngomong soal kesehatan mental, tapi pas diminta introspeksi beneran, eh, malah kabur.

Ilustrasi. Budaya media sosial bikin cowok harus keliatan sensitif, tapi dalam batas yang masih nyaman buat ego mereka (ilustrasi: AI)

Kesimpulan: Tetep Jadi Diri Sendiri Aja, Bro

Intinya, fenomena performative male ini nunjukin kalau maskulinitas lagi berubah, dan itu bagus. Tapi, yang paling penting, tetep genuine, bro. Gak usah cuma kejar image estetik atau validasi di media sosial. Kalau lo emang suka matcha, baca buku feminis, atau ngomongin zodiak, lakuin karena lo enjoy, bukan cuma buat keliatan keren. Dan kalau lo beneran pengen jadi pria yang lebih emosional dan empati, jangan cuma di permukaan jalanin beneran di kehidupan sehari-hari.

Fenomena ini cuma salah satu sisi dari perubahan besar di cara cowok ngeliat diri mereka sendiri. Jadi, lo pilih mana, bro? Jadi performative male yang cuma main peran, atau beneran jadi cowok yang sadar diri dan genuine? Share pendapat lo di kolom komen POPERS.ID, ya!

source cnnindonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Exit mobile version