Warga beraktivitas dengan latar belakang Gunung Fuji, gunung tertinggi di Jepang dengan ketinggian 3.776 meter (12.460 kaki), di Fujikawaguchiko, prefektur Yamanashi pada tanggal 31 Oktober 2024. (AFP/YUICHI YAMAZAKI)
JAKARTA | Fenomena #KaburAjaDulu , sebuah gerakan viral di media sosial yang mencerminkan kekecewaan generasi muda Indonesia, kini menarik perhatian dunia. Salah satu media internasional, South China Morning Post , melaporkan bahwa anak muda di Indonesia mulai menyuarakan keinginan mereka untuk pindah ke luar negeri melalui tagar ini di platform seperti X (Twitter) dan TikTok .
“Kalau kamu tidak terlalu terikat dengan negara ini, pertimbangkan benar-benar untuk #KaburAjaDulu. Serius,” tulis salah satu pengguna X, Petra Novandi , mencerminkan sentimen banyak orang. Gerakan ini bukan sekadar tren, tetapi juga cerminan dari frustrasi mendalam terhadap berbagai masalah di Indonesia, termasuk ketidakadilan sosial, ekonomi, dan harapan masa depan yang semakin suram.
Apa Pemicu Gerakan Ini?
Menurut Ismail Fahmi , pendiri Media Kernels Indonesia, ada tiga faktor utama yang memicu tren ini:
Masalah Ekonomi : Banyak anak muda merasa kesulitan memperoleh pekerjaan dengan gaji layak atau peluang karier yang menjanjikan.
Ketidakadilan Sosial : Ketimpangan antara si kaya dan si miskin semakin lebar, sementara akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan fasilitas dasar masih menjadi tantangan besar.
Harapan Masa Depan Lebih Baik : Negara-negara asing dinilai menawarkan kualitas hidup yang lebih baik, sistem hukum yang adil, serta peluang kerja yang lebih terbuka.
Di media sosial, diskusi tentang tips pindah ke luar negeri pun marak. Pengguna berbagi informasi tentang negara tujuan favorit, seperti Singapura , Jerman , Australia , dan Korea Selatan , beserta proses migrasi, visa, dan peluang kerja di sektor teknologi.
Pengalaman Mereka yang Sudah “Kabur”
Warga beraktivitas dengan latar belakang Gunung Fuji, gunung tertinggi di Jepang dengan ketinggian 3.776 meter (12.460 kaki), di Fujikawaguchiko, prefektur Yamanashi pada tanggal 31 Oktober 2024. (AFP/YUICHI YAMAZAKI)
Salah satu contoh nyata adalah Yoel Sumitro , warga Indonesia yang kini bekerja sebagai senior director di Berlin. Ia membagikan daftar negara dengan kualitas hidup tinggi, gaji kompetitif, dan kemudahan visa bagi pekerja teknologi. Menurutnya, Singapura, Amsterdam, Tokyo, Berlin, dan Dubai adalah destinasi ideal bagi pekerja profesional.
“Saya sering ditanya bagaimana cara bekerja di luar negeri. Banyak yang tertarik karena merasa stagnan di Indonesia,” kata Sumitro, yang telah bekerja di Jerman, Singapura, dan AS.
Meski demikian, Sumitro mengakui bahwa bekerja di luar negeri bukan tanpa tantangan. Ia sendiri sempat kembali ke Indonesia pada 2018 karena ingin dekat dengan keluarga dan teman. Namun, setelah empat tahun, ia merasa kariernya tidak berkembang signifikan. “Kalau mau maju, saya harus ke luar negeri. Di sini saya bisa belajar lebih banyak dan menjadi bagian dari tim multinasional,” ujarnya.
Kontradiksi dengan Kepuasan Publik
Ironisnya, meskipun tren ini berkembang pesat, survei menunjukkan tingginya tingkat kepuasan publik terhadap kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto . Namun, di lapangan, sentimen negatif justru lebih dominan. Misalnya, pemotongan anggaran pendidikan dan penelitian oleh pemerintah membuat banyak profesional muda enggan kembali ke Indonesia.
Primawan Satrio , warga Indonesia yang tinggal di Korea Selatan sejak 2020, mengaku enggan pulang karena kebijakan pemerintah yang memotong anggaran riset. Istrinya, seorang peneliti medis, sulit berkembang karier di Indonesia. “Kami mempertimbangkan izin tinggal permanen di Korea Selatan karena istri saya ingin melanjutkan karier di luar negeri,” katanya.
Ancaman Brain Drain
Pada 2023, terungkap bahwa hampir 4.000 warga Indonesia menerima paspor Singapura antara 2019-2022. Fenomena ini memicu kekhawatiran akan potensi brain drain —hilangnya talenta-talenta terbaik Indonesia ke negara lain. Namun, Sumitro memiliki pandangan optimis. “India mendapat banyak manfaat dari warganya yang bekerja di AS dan Eropa, baik melalui remitansi maupun transfer pengetahuan,” ujarnya.
Menteri Perlindungan Pekerja Migran, Abdul Kadir Karding , menyatakan kesiapan pemerintah membantu anak muda yang ingin bekerja di luar negeri. “Kalau mau pergi, pastikan untuk bekerja di luar negeri. Daripada pergi tanpa arah, kami akan membantu mempersiapkan kalian,” katanya.
Namun, Yanuar Nugroho , peneliti senior di ISEAS-Yusof Ishak Institute , menekankan bahwa gerakan ini lebih bersifat simbolis daripada eksodus nyata. “Banyak yang hanya ingin menunjukkan bahwa jika mereka punya uang, mereka akan pergi,” tambahnya.
Solusi untuk Generasi Muda
Yanuar menyarankan agar pemerintah segera bertindak untuk memenuhi janji kampanye, seperti membuka lapangan kerja, meningkatkan kualitas pendidikan, dan menjamin kepastian hukum. “Jika tidak, generasi muda akan semakin ingin pergi,” pungkasnya.
Gerakan #KaburAjaDulu adalah alarm bagi pemerintah untuk mendengarkan suara anak muda. Apakah ini hanya tren sesaat atau awal dari perubahan besar dalam pola pikir generasi muda Indonesia?
Bagaimana tanggapanmu tentang fenomena ini? Share di kolom komentar ya! 😊