Pada awal bulan Oktober, ”OOTD” sebuah film drama Indonesia ditayangkan di mayoritas negara di mana platform streaming Netflix tersedia. Bagaimana peluang film-film drama Indonesia di tengah popularitas film horor dan film drama Korea serta Mandarin yang sukses di layanan streaming?
Film “Outfit Of the Designer”/ “OOTD” adalah film drama yang dibuat oleh Delly Malik, yang baru pertama kali menjadi produser sebuah film. Ia mengatakan OOTD berpusat pada peristiwa alam, perancang, dan kepedulian akan lingkungan lewat proses penggunaan bahan-bahan pewarna pakaian yang alami.
“Misi saya untuk membuat film OOTD ini adalah lebih memperkenalkan karya desainer Indonesia ke dunia Internasional melalui film. Saya berharap kita sebagai warga Indonesia lebih mencintai budaya Indonesia daripada budaya-budaya negara lainnya itu saja sih, itu aja sih sebenarnya tujuan saya,” jelasnya.
Meski menyandang misi tersebut, film ini sebagian berlokasi di Birmingham, Inggris. Dimas Anggara, sutradara film ini menyebut alasan dipilihnya kota itu adalah karena sekolah fesyennya dan status kota tersebut sebagai kota pelajar, selain keunikan bangunan-bangunannya.
Film ini antara lain dibintangi oleh Jihane Almira, Rangga Natrra, Jolene Marie, Derby Romero.
Banyak film-film Indonesia telah ditayangkan di platform streaming Netflix, termasuk film horor Indonesia yang banyak disukai, namun Dimas mengatakan tren ini mungkin menguntungkan di kawasan Asia daripada di pasar internasional.
“Kalau menurut pandanganku penjualan film horor mungkin agak terbatas juga beda kalau kita mengangkat film action, yang mungkin bisa worldwide atau fashion bisa worldwide, drama bisa worldwide tapi kalau horor menurutku pasti harus ada keterkaitan tiap negara yang memiliki motos-mitos tersebut,” jelas Dimas Anggara.
Nan T. Achnas, Direktur Pasca Sarjana Institut Kesenian Jakarta (IKJ), sutradara terkenal film-film Indonesia menyambut tren streaming film Indonesia di platform Netflix. Ia mengatakan industri perfilman Indonesia agar bisa bersaing dengan film-film asing lainnya perlu mencari ide-ide yang inovatif.
“Kita perlu membentuk dan mempercayai struktur-struktur naratif kita yang berbeda ini ya, misalnya waktu itu Jepang ya dengan “Oshin” untuk pertama kali mereka memberikan menawarkan format yang cuma 15 menit, nah format film kita mengadopsi dari luar, semua yang kita adopsi dari luar ada kecenderungan untuk meniru, seperti sekarang banyak sekali drama Korea yang dibuat versi Indonesia,” lanjut Nan T. Achnas.
Nan T. Achnas menambahkan seharusnya produksi film drama Indonesia menggali bentuk-bentuk narasi dengan muatan budaya. Indonesia, katanya, memiliki budaya yang sangat kaya yang bisa dituangkan dalam film.
Tidak hanya inovasi, Delly Malik juga mengatakan untuk menumbuhkan dan mengembangkan mutu film drama agar bisa bersaing dengan negara lain di Asia, pemerintah perlu menerapkan regulasi yang berpihak pada rumah produksi (PH) kecil.
“Ada regulasi yang melindungi PH-PH kecil kasilah peluang bisnis bisa lebih bertahan mempertahankan hasil produksinya untuk bertengger di bioskop-bioskop besar di Indonesia seperti di Malaysia minimal dua minggu,” imbuh Delly Malik.
Nan T. Achnas sepakat dan ia juga mengharapkan dukungan pada industri sinema dari semua pihak termasuk pemerintah, lewat pendidikan dan peningkatan sekolah perfilman. [my/ab]