Sejumlah pengamat ekonomi sudah memperingatkan soal angka deflasi yang terus menerus turun. (Reuters: Ajeng Dinar Ulfiana)
Warung milik Erick Saputra di Bukittingi, Sumatera Barat, sudah jarang dikunjungi pelanggannya, sehingga mempengaruhi pendapatannya.
“Empat-lima bulan belakangan pendapatan sangat berkurang drastis,” ujarnya kepada Erwin Renaldi dari ABC Indonesia.
Padahal warungnya menjual kebutuhan pokok sehari-hari dengan harga yang masih sama.
Erick mengaku bahkan pada masa pandemi COVID-19, penghasilannya masih bisa menutupi biaya hidup, cicilan ke bank, serta modal usaha.
“Sekarang jangankan untuk biaya hidup dan cicilan bank, untuk modal usaha saja tidak mencukupi,” katanya.
“Kalau pendapatan sebelum lima bulan ini di angka Rp700.000 per bulan, sekarang hanya Rp 250.000 sampai 300.000 per bulan.”
Apa yang dialami Erick saat ini juga dirasakan sejumlah pemilik warung dan pelaku usaha kecil menengah.
Menurut Erick warga di sekitar warungnya tidak memiliki uang yang cukup untuk belanja kebutuhan sehari-hari, sehingga berdampak pada pedagang kecil seperti dirinya.
Salah satu kekhawatiran dari deflasi yang terjadi berturut-turut adalah menandakan pelemahan ekonomi. (Reuters: Willy Kurniawan)
Kenapa deflasi ikut menurunkan daya beli?
Dalam lima bulan berturut-turut, Indonesia mencatat deflasi dengan persentase akhir di angka 0.12 persen pada bulan September kemarin.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengatakan penyebabnya didorong oleh harga-harga pangan.
Awal bulan ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan deflasi selama lima bulan berturut-turut masih menunjukkan bahwa ekonomi di Indonesia masih “positif”.
“Itu menurut saya merupakan suatu perkembangan yang positif karena ini akan sangat menentukan daya beli masyarakat terutama kelompok menengah bawah yang pengeluaran untuk makanan itu paling besar,” ujarnya, seperti yang dikutip dari Kompas.com.
Seharusnya harga pangan yang turun bisa lebih terjangkau, tapi penurunan harga ini lebih disebabkan oleh kenaikan harga serta inflasi di tahun lalu, sementara saat itu upah tidak ikut naik.
Harga cabai turun meski bukan musim panen adalah salah satu indikator ekonomi yang tidak baik. (Reuters: Willy Kurniawan)
Seperti yang dikatakan oleh Eliza Mardian, peneliti dari CORE Indonesia, yang menurutnya deflasi berturut-turut saat ini menjadi “peringatan” karena menunjukkan daya beli yang melemah.
Saat harga pangan, misalnya cabai, yang turun padahal bukan musim panen menjadi situasi yang mengkhawatirkan, kata Eliza.
“Kalau permintaan terus menerus melemah, perusahaan bahkan akan mengurangi aktivitas produksinya … berarti akan ada pengurangan aktivitas pembelian bahan baku, komponen, dan lain-lain,” ujarnya.
“Mereka akan melakukan efisiensi biaya yang akan mengakibatkan pengurangan ekspansi usaha dan juga bisa jadi pemutusan tenaga kerja.”
Eliza mengatakan hilangnya pekerjaan akan turut menurunkan daya beli di Indonesia.
Data resmi dari BPS mencatat 60.000 orang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) di bulan Oktober ini, angkanya naik dari 46.240 di bulan yang sama tahun lalu.
“Ditambah lagi kita ada penurunan kasta kelas menengah sampai 9,5 juta orang,” jelasnya.
UMKM minta lebih diperhatikan pemerintah
Salah satu pemilik usaha kecil menengah adalah Sri Handayuna di kota Bandung, yang menjual produk fesyen di akun Instagram @yunaa.store, serta Shopee dan Tokopedia.
“Penjualannya mulai turun dalam 5-6 bulan terakhir, luar biasa dampaknya … mungkin karena market-nya memang middle class,” ujarnya.
Banyak pengusaha kecil menengah yang juga mengalami sepi penjualan dalam lima bulan terakhir. (Reuters: Ajeng Dinar Ulfiana)
Yuna mengatakan pangsa pasar untuk produknya adalah perempuan dari kelas menengah.
Tapi karena membeli barang-barang kebutuhan pokok menjadi lebih mendesak ketimbang membeli pakaian dan produk fesyen, sekarang omsetnya sudah turun 50 persen.
“Kalau biasanya target penjualannya 1.000 [pakaian sebulan], tapi sekarang belasan pakaian terjual sehari saja sudah alhamdulillah, kebayang enggak sih seseram itu?”
Akibatnya Yuna mengaku harus mengurangi produksi, sehingga berdampak pula kepada penjahit yang pendapatannya berkurang karena tidak mendapat pesanan seperti sebelumnya.
“Yang saya rasakan bersama teman-teman komunitas [penjual], ya pemerintah kayak enggak ngurusin kami yang UMKM kayak gini,” ujarnya.
“Sedangkan UMKM ini harusnya diurusin dong karena kita menyerap tenaga tenaga.”
Valeria Nisatama mengatakan inovasi membantunya untuk bertahan, namun juga membutuhkan modal tambahan. (Koleksi pribadi)
Di Jakarta, Valeria Nisatama masih bertahan dengan bisnis fesyen-nya lewat akun Instagram @celosiaetnik.
“Secara omzet itu enggak ada perubahan yang signifikan .. karena aku punya beberapa produk yang tidak bersaing sama toko lain,” ujarnya.
Sebelumnya Valeria menjual pakaian dengan bahan dasar batik. Tapi setelah melihat ada penurunan penjualan, ia beralih dengan menjual kebaya.
Ia mengatakan inovasi yang dilakukannya adalah pakaian dari bahan brokat setelah ada tren serial Netflix Gadis Kretek.
“Ternyata setelah aku coba inovasi, penjualannya meningkat. Aku juga terbantu sama customer di Brunei, Singapura, Malaysia.”
Tapi Valeria mengatakan inovasi membutuhkan tambahan modal, yang “aksesnya tidak selalu mudah dijangkau” oleh pengusaha di Indonesia.
“Apalagi jika pangsa pasar ingin membidik kelas menengah ke atas, artinya kualitas harus ditingkatkan, yang artinya butuh modal besar.”
Menggerakan ‘ekonomi Pancasila’
Kembali ke Bukittinggi, Erick punya harapan besar dengan pemerintahan yang baru.
“Pemerintah harus turun ke bawah, melihat langsung bagaimana para pelaku UMKM ini bertahan untuk hidup.”
“Kita tidak mau kehilangan lahan pencarian uang … tetap bisa hidup tenang,” ujarnya.
Eliza, peneliti dari CORE Indonesia mengatakan “ekonomi Pancasila” yang sering digaungkan oleh Presiden Prabowo harus bisa dinikmati oleh semua rakyat Indonesia.
“Artinya semua orang ini harus dilibatkan dalam ekonomi,” ujarnya.
Anak muda Indonesia bercerita soal biaya hidup
Ia mencontohkan program Makan Bergizi Gratis yang seharusnya bisa melibatkan petani, nelayan, peternak lokal, dan UMKM, bukan hanya vendor besar atau pengusaha tertentu.
Presiden Prabowo menargetkan pertumbuhan ekonomi di angka delapan persen pada 2029.
“Sebetulnya mungkin saja tercapai, kalau engine yang dipilih untuk menggenjot ekonomi ini benar dan pendekatan kebijakannya enggak keliru.
“Nah, pemerintah di zaman Pak Jokowi ini eksklusif ya dan sektor yang digenjot pun lebih banyak di sektor pertambangan, yang mana pertambangan itu enggak banyak menyerap tenaga kerja dan hilirisasi.”
“Kita harus membangun revitalisasi industri, di mana ini membangun industri dasar dan menggerakkan semua sektor.”