Kementerian Luar Negeri memperkirakan warga negara Indonesia bisa mulai dievakuasi dari Jalur Gaza hari Rabu (1/11). Namun belum ada kepastian mutlak mengingat situasi yang sangat dinamis dan perlunya mengkaji jaminan keamanan terlebih dahulu.
JAKARTA —
Sejumlah warga Palestina, yang sebagian luka-luka, bersama ratusan warga asing termasuk mereka yang memiliki dwikewarganegaraan, Rabu pagi (1/11) diizinkan meninggalkan Gaza menuju wilayah Mesir lewat pintu perbatasan Rafah.
Hal ini sesuai dengan perkiraan pemerintah Indonesia sebagaimana disampaikan Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi. Dalam jumpa pers di kantornya hari Rabu (1/11), Retno mengatakan telah mengirim tim dari Kairo menuju Rafah, yang merupakan satu-satunya pintu keluar yang ada. Tim saat ini, lanjutnya, telah berada di Rafah, di bagian Mesir, sejak pukul 15.53 WIB.
“Saya melakukan komunikasi dengan semua pihak yang memiliki aset di Gaza. Dan di peroleh informasi kemungkinan pergerakan evakuasi WNA (warga negara asing), termasuk WNI (warga negara Indonesia) melalui pintu Rafah kemungkinan, sekali lagi kemungkinan akan dapat segera dilakukan. Saya garis bawahi kata kemungkinan karena sekali lagi situasi tidak pernah dapat diduga,” tegas Retno.
Ada sepuluh warga negara Indonesia (WNI) yang berada di Gaza. Tujuh orang siap dievakuasi dan sudah tiga minggu bolak-balik ke pintu perbatasan Rafah mencari informasi. Sementara tiga WNI lainnya, yang merupakan relawan Medical Emergency Rescue Committee (MER-C), tidak bersedia dievakuasi karena akan tetap membantu di rumah sakit Indonesia yang berada di Gaza Utara, sekitar tiga kilometer dari perbatasan dengan Israel.
Retno mengatakan proses evakuasi akan dilakukan secara bertahap, dengan tetap mengutamakan keselamatan. Evakuasi hanya akan dilakukan jika ada jaminan keselamatan dari semua pihak, tegasnya.
Dalam kesempatan yang sama Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Lalu Muhammad Iqbal mengatakan evakuasi ketujuh WNI itu akan dilakukan dari rumah mereka masing-masing di Gaza Utara dan Gaza Selatan, menuju perbatasan Rafah. Tujuh WNI ini berasal dari dua keluarga, yaitu keluarga Abdillah Onim dan Muhammad Husein. Keduanya menikah dengan warga Palestina. Total jika dihitung dengan pasangan dan anak, jumlahnya ada sembilan orang.
Evakuasi istri dari kedua WNI, yang merupakan warga negara Palestina, sangat tergantung pada izin otoritas di Mesir.
“Yang jelas yang kita secure yang WNI dulu tetapi kita memberitahu kepada mereka (otoritas di Mesir) bahwa ini istri dan anak statusnya. Kita dari pihak Indonesia kita ready untuk memfasilitasi mereka untuk ikut dengan suaminya tapi tergantung pemerintah Mesir di perbatasan, “ujar Iqbal.
Pemerintah menghormati keputusan tiga relawan MER-C yang tetap bertahan di Gaza karena ingin membantu masyarakat setempat, dan memilih tinggal di Rumah Sakit Indonesia.
Pengamat: Serangan Israel ke Gaza Sudah Melampaui Batas
Pengamat hubungan internasional di Universitas Indonesia Yon Machmudi mengatakan serangan Israel ke Gaza sejak 7 Oktober lalu sudah melampaui batas. Retorika yang digunakan pejabat-pejabat Israel adalah serangan ditujukan pada Hamas, bukan Palestina; tetapi yang menjadi korban terbesar adalah warga sipil Palestina, ujarnya.
“Tapi kan realitasnya Gaza itu mayoritas Hamas, dan tidak bisa dinafikan bahwa dampak dari serangan memerangi Hamas itu justeru menimbulkan korban yang sangat banyak. Sebagian kemudian mengatakan ini mengarah pada upaya genosida,” ujarnya.
OKI, tambah Yon, harus mendesak dibukanya koridor kemaanusiaan di Gaza. Begitu ketegangan mencair, mereka yang disandera Hamas di Gaza pun dapat dibebaskan.
Sejak Israel mengelar serangan balasan ke Gaza pada 8 Oktober, jumlah korban tewas di sisi Palestina mencapai lebih dari 8.300 orang. Ini merupakan angka yang dikeluarkan sejumlah rumah sakit di wilayah yang dikontrol oleh Hamas. VOA belum dapat memverifikasi data ini secara independen.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan apabila pertempuran antara Israel dan Hamas tidak segera berhenti, bencana kesehatan masyarakat akan segera terjadi di Gaza. Berbicara di Jenewa, juru bicara WHO Christian Lindmeier mengingatkan resiko kematian warga sipil yang tidak terkait langsung dengan perang. Ini adalah bencana kesehatan masyarakat yang akan terjadi seiring dengan perpindahan massal, kepadatan penduduk serta kerusakan infrastruktur air dan sanitasi, ujarnya. Dan satu-satunya jalan keluar adalah dengan segera mengakhiri konflik Israel-Hamas.