Ada kabar dari Prancis, Menteri Pendidikan Prancis Gabriel Attal mengatakan sejumlah sekolah negeri di Prancis memulangkan puluhan siswi karena mereka menolak melepas abaya yang digunakan, saat mereka datang ke hari pertama tahun ajaran.
Abaya adalah pakaian terusan yang panjang dan longgar, banyak digunakan di negara-negara Arab dan Muslim. Seperti yang dikutip dari situs Radio France, dalam wawancara bersama BFMTV, Gabriel mengatakan ada 298 siswi yang menggunakan abaya.
Menurutnya “sebagian besar” setuju untuk melepaskan dan berganti baju, tapi 67 siswa “tidak setuju” dan dikembalikan ke rumah mereka.
“Dalam beberapa hari ke depan mereka akan kembali karena harus bersekolah, kita lihat apakah mereka sudah mematuhi aturan atau belum, kalau tidak akan ada dialog baru,” ujarnya dalam wawancara tersebut.
Akhir Agustus lalu pemerintah Prancis mengumumkan pelarangan penggunaan abaya di sekolah-sekolah, setelah sebelumnya mereka juga melarang perempuan Muslim menggunakan hijab.
“Ketika Anda masuk ke kelas, harusnya tidak bisa mengidentifikasi agama orang lain hanya dengan melihat [pakaian] mereka,” ujar Menteri Gabriel saat itu.
Keberatan dengan larangan abaya
Presiden Emmanuel Macron membela kebijakan untuk melarang penggunaan abaya di sekolah, dengan mengatakan ada kelompok “minoritas” di Prancis yang “membajak agama dan menantang republik dan sekularisme”.
Keputusan ini diterima oleh politisi dari sayap kanan, sementara di kubu sayap kiri menilai jika larang ini menjadi sebuah bentuk penghinaan bagi kebebasan sipil.
Anggota parlemen dari sayap kiri, Clementine Autain, mengkritik upaya yang disebutnya sebagai “polisi pakaian” dan “merupakan karakter dari obsesi menolak umat Islam” di Prancis.
Beberapa akademisi menilai larangan ini malahan akan jadi kontraproduktif, karena pakaian yang dikenakan adalah lebih mengarah pada fashion identitas, bukan untuk agama.
“Hal ini akan merugikan umat Islam secara umum. Mereka, sekali lagi, akan merasa mengalami stigma,” kata sosiolog Agnes De Feo, yang telah meneliti perempuan Perancis pengguna niqab selama satu dekade terakhir.
Djennat, usia 22 tahun, yang mengenakan abaya di rumah, mengaku tidak mengerti mengapa abaya dilarang.
“Gaunnya panjang, cukup longgar, cuma pakaian normal saja, tidak ada makna keagamaan yang melekat di dalamnya,” katanya kepada berita Reuters.
Sejak tahun 2004, pemerintah Prancis menetapkan undang-undang yang melarang penggunaan simbol-simbol keagamaan, termasuk tanda dan pakaian, karena melanggar sekularisme dalam dunia pendidikan.
Seragam sudah tidak diwajibkan di sekolah-sekolah Prancis sejak tahun 1968, tapi Menteri Gabriel memberikan sinyal jika akan ada uji coba kembali penggunaan seragam di sekolah pada akhir tahun ini.
“Menurut saya seragam sekolah bukanlah solusi untuk menyelesaikan semua masalah terkait pelecehan, kesenjangan sosial, atau sekularisme,” ujarnya kepada media.
Di tahun 2010, Prancis juga pernah melarang penggunaan cadar atau penutup wajah di depan publik, yang memicu kemarahan komunitas Muslim di negara tersebut.
Undang-undang tahun 2021 di Prancis melarang perbuatan dan tindakan yang disebut pemerintah sebagai “seperatisme” dan lebih ingin memperkuat “sekularisme” Prancis, dengan cara meningkatkan pengawasan terhadap masjid-masjid, sejumlah sekolah, serta klub olahraga untuk membasmi tanda-tanda radikalisme Islam.
Hal ini berbeda jauh dengan negara-negara sekuler lainnya, seperti Australia di mana ekspresi keagamaan dilindungi oleh undang-undang, termasuk pedoman seragam sekolah yang memperbolehkan pakaian keagamaan.
Pelajaran agama di sekolah umum juga diperbolehkan di Australia, meski hampir 40 persen penduduknya melaporkan tidak terkait atau memiliki agama tertentu.