PopImaji
“Mau Tiup Lilin”
Oleh DS. Ridian

Sebuah gubuk di sudut Jakarta

“Bang, jadi mau beliin kue ulang tahun buat Asih?” tanya Eno pada suaminya, Jamal.
Jamal mengangguk, sebuah anggukan yang sulit diartikan, apakah memang akan membelikan kue ulang tahun atau sekedar menyenangkan Eno saja. Asih masih terlelap di ranjang tipis mereka. Hari ini genap Asih berusia 5 tahun. Sejak jauh hari Asih sudah merengek meminta kue ulang tahun. Ingin tiup lilin, katanya. Eno teringat kejadian dua minggu lalu.
Dua minggu yang lalu, saat berkeliling berjualan rempeyek, Eno dan Asih melewati TK di sebuah komplek perumahan. Saat itu mereka duduk di bawah pohon, di tengah terik matahari jam 11.30 siang. Wajah gadis cilik itu terlihat menghitam kemerahan karena panas, sementara kerudung Eno tidak mampu melindungi Asih dari terik.
Sayup terdengar suara sekelompok anak TK bernyanyi dari salah satu ruang kelasnya.
“Panjang umurnya…panjang umurnya…panjang umurnya serta mulia, serta mulia, serta mulia….”
Semua bernyanyi ditimpali tepuk tangan serempak para bocah TK itu. Tak kalah seru adalah juga suara menyanyi Ibu Guru mereka.
“Tiup lilinnya…tiup lilinnya..tiup lilinnya sekarang juga, sekarang juga, sekarang juga…” nyanyian ulang tahun itu berlanjut hingga sorak sorai anak-anak ketika lilin diatas kue ulang tahun itu ditiup keras oleh si anak yang berulang tahun.
“Bu, mereka sedang apa?” tanya Asih sambil berdiri di luar pagar sekolah memandang ke arah sorak sorai anak-anak yang bernyanyi.
“Oh itu! Ada anak yang ulang tahun, terus dinyanyiin, terus tiup lilin, “ jawab Eno.
Eno menjelaskan seadanya, sebatas dimengerti oleh Asih. Sepanjang 5 tahun hidup Asih, tidak pernah sekalipun Asih merayakan ulang tahun.
“Bu, kapan aku ulang tahun?”
Pertanyaan itu menyentak Eno. Ulang tahun Asih sebenarnya dua minggu lagi, di tanggal 13 Februari. Tanggal itu genap Asih berusia 5 tahun, usia bermain bagi anak seusia Asih. Namun bagi Asih, usia itu adalah usia mulai bekerja. Pagi-pagi sekali, terkadang Asih ikut terjaga sambil membantu Eno menggoreng rempeyek dagangan Eno.
Dan saat ini, saat ulang tahun Asih, niat merayakan ulang tahun itu muncul kembali. Jamal yang hanya berpenghasilan sebagai pemulung merenung ragu, berapa uang yang harus dia dapatkan hari ini jika harus membeli kue ulang tahun? Jamal bukan tidak ingat akan ulang tahun Asih. Jauh-jauh hari niatan membelikan kue ulang tahun sudah tercetus di kepalanya. Sudah pula dia mensurvey harga-harga kue ulang tahun. Tidak ada yang sesuai dengan kantongnya, jauh diatas penghasilannya per hari.
“Ini, saya ada uang sedikit, beli apa aja deh, ga usah kue ulang tahun,” ujar Eno sembari menyerahkan lembaran lima ribuan lecek sejumlah Rp. 20.000,-
Jamal mengangguk, diambilnya ribuan lecek itu.
“Semoga Abang dapet sampah kaleng banyak” ujarnya lirih. Sampah kaleng bekas minuman memang menjadi incaran para pemulung. Harga per kilonya cukup tinggi dan tidak terlalu menyita gerobak.
Jamal melirik Asih yang masih terlelap, diciumnya kening Asih,
“Doakan Bapak dapat uang banyak, ya, Nak,” bisiknya lirih. Jam menunjukkan angka 5, masih subuh, Jamal bersegera mengenakan topi lusuhnya, baju kaus yang sobek sana sini, celana selutut tak jelas warnanya serta sepatu kets putih yang sudah kusam menghitam diinjak bagian belakangnya. Setiap hari, begitulah ritual kerja Jamal, jam 5 subuh hingga larut malam tak berbatas, berkeliling dari komplek ke komplek perumahan, mengais sampah berharap ada satu atau dua lembar kardus, satu atau dua botol bekas air mineral, satu atau dua kaleng minuman ringan, hingga satu atau dua potong besi tua untuk dijual ke Juragan Dodo si pengumpul barang rongsokan.
“Abang berangkat dulu, doakan Abang, ya” bisik Jamal ke telinga Eno. Hanya tatapan mata yang menyertai pamit itu, tak ada kecupan mesra, tak ada pelukan hangat. Hilang sudah ditelan kerasnya hidup di Jakarta.
Hari itu, di 13 Februari 2009, tepat Asih berusia 5 tahun. Eno ingin memberikan sesuatu yang istimewa bagi Asih. Eno berharap banyak akan hasil besar Jamal hari ini.
“Semoga aja, Abang dapat uang banyak hari ini” gumam Eno lirih sembari melepas keberangkatan Jamal.
Sebuah rumah mewah di sudut lain Jakarta
“Kamu jangan pulang terlalu malam hari ini, Ninda ulang tahun, kamu ingat kan?” ujar Anna setengah berteriak sembari mendekatkan mulutnya ke pintu kamar mandi. Dicky, suaminya masih sibuk dengan sabun cair yang melumuri tubuhnya, hanya menjawab singkat,
“Ya, aku ingat!”
“Nanti, aku mau ngadain pesta kecil-kecilan!” teriak Ninda lagi.
“Iya aku ingat, aku akan pulang cepat hari ini” Dicky keluar kamar mandi berkimono handuk.
“Bener, ya, kasian Ninda, tahun lalu kamu ga ada, waktu acara tiup lilinnya.”
Dicky hanya mengangguk ringan.
Ninda, anak satu-satunya Dicky dan Anna, berusia 5 tahun, tiba-tiba mampir melongokkan kepala ke kamar mereka.
“Mama…” panggilnya parau khas suara anak yang baru saja bangun tidur.
“Hei, sudah bangun, Sayang, selamat ulang tahun” Anna menghampiri Ninda, berlutut dan mencium kedua pipi bocah lucu itu.
“Selamat ulang tahun, ya Sayang” Dicky pun ikut berlutut di samping Anna. Digendongnya Ninda, diacungkannya tinggi, dan tak hentinya pipi itu dicium.
“Nanti malam, kita tiup lilin, ya Pa?” ujar Ninda
“Iya, nanti malam kita tiup lilin.” jawab Dicky tersenyum.
“Ya sudah, Papa pergi kerja dulu, sampai nanti malam, ya?” dikecupnya lagi kening Ninda, juga Anna.
“Hati-hati ya, Pa” balas Anna.
Anna dan Ninda ikut mengantar Dicky ke depan, mobil BMW X5 keluaran terbaru sudah siap dijalankan. Dicky melambaikan tangan ke kedua perempuan itu. Anna memandangi Dicky hingga mobil itu menghilang di belokan komplek.
Anna sendiri tidak menyangka akan menikahi Dicky. Dicky yang semasa kuliah dikenal sebagai mahasiswa favorit, incaran para gadis, suatu hari hampir 7 tahun lalu, tiba-tiba mengajaknya menikah. Tidak sedikit yang mengingatkan Anna akan reputasi Dicky yang katanya playboy, namun entahlah, Anna begitu saja menerima lamaran Dicky. Dan saat ini, hampir 7 tahun kemudian, Anna masih mendampingi Dicky.
Pernikahan itu bukan tanpa cobaan. Karir Dicky yang melesat tinggi menjadikan godaan dahsyat bagi pernikahan mereka. Bukan satu dua kali, Anna menemukan kejanggalan, mulai dari pesan mesra seseorang di HP Dicky, wangi parfum perempuan di kemeja Dicky, hingga adanya ikat rambut perempuan yang bukan milik Anna di jok belakang mobil Dicky. Bukan satu dua kali pula pertengkaran terjadi, bukan satu dua kali pula Anna pergi dari rumah membawa Ninda karena kesal akan prilaku Dicky.
Belum lagi kebiasaan Dicky pulang larut malam, alasannya adalah ada meeting, ada tamu klien, ada pertemuan dengan gubernur, dinner dengan principal, dan macam-macam alasan. Sabtu Minggu pun yang seharusnya hari keluarga, disibukkan Dicky oleh main golf bersama relasi bisnisnya.
Anna menghela nafas panjang, digandengnya Ninda kembali masuk rumah. Anna tidak tahu sampai kapan dia bisa bertahan dengan pernikahan ini. Yang ada di pikiran Anna adalah Ninda, putri satu-satunya yang tidak boleh jadi korban.
“Yang ini berapa harganya, Ci?” tanya Jamal menunjuk kue tart ukuran paling kecil yang terpajang di etalase toko Ci Ayen.
“Emang lu mau beli?” balik Ci Ayen bertanya pada Jamal.
“Mmmm…iya sih, anak saya ulang tahun, cukup ga ya duit saya?”
“Yang itu 150 ribu!”
Jamal kaget, kue tart yang paling kecil sekalipun dihargai 150 ribu! Dikantongnya saat ini hanya ada Rp. 52 ribu, itupun termasuk uang Eno Rp. 20ribu.
Jamal bimbang.
“Ada yang lebih murah, ga?” tanya Jamal lagi. Pakaian lusuh, kotor khas pemulung masih terpakai di tubuh Jamal, gerobak kosong terparkir di depan toko kue itu. Ci Ayen menatap ragu pada Jamal, matanya mendelik dibalik kacamata minusnya.
“Lu mau beli kue ulang tahun buat anak lu?” tanya Ci Ayen menyelidik
Jamal mengangguk.
Dipandanginya Jamal, beberapa saat tatapan matanya tertumbuk pada gulungan uang lecek di genggaman Jamal.
“Imaaassss…..Imaaassss…lu ambil kue yang di kulkas, lu bungkus yang rapi, lu bawa sini!” teriak Ci Ayen mengagetkan karyawan tokonya dan juga mengejutkan Jamal.
Tak lama Imas, salah satu karyawan Ci Ayen, datang tergopoh-gopoh membawa bungkusan kecil dalam tas kresek putih.
“Ini, Nya…” Imas menyerahkan sebuah bungkusan berisi kotak kue ke hadapan Ci Ayen
“Nih, gua punya kue tart, masih bagus sih, baru tiga hari lalu gua bikin, udah kemakan setengahnya, kalo lu mau, lu ambil aja nih, ga usah bayar!”
Ci Ayen membuka bungkusan itu, diambilnya kotak kue tart berwarna putih, dibuka tutupnya, dan terlihat kue tart berbentuk persegi ukuran sedang, yang sudah terpotong setengahnya, dan krim yang sudah agak acak-acakan sana sini. Hiasan tart pun sudah tidak lagi beraturan, warna-warni kue tart juga sudah saling bercampur membentuk gumpalan-gumpalan krim setiap sudut kue.
“Hiasan kuenya udah ga rapi, tapi lu beresin aja, lu taro lilin di tengahnya, jadi deh, anak lu tiup lilin!” senyum Ci Ayen menimpali cerocos bibirnya yang tak henti bicara.
“Kuenya juga masih bagus, kok, ga basi!” tambah Ci Ayen lagi
Jamal terbelalak. Bagi dia, kue pemberian Ci Ayen itu sudah luar biasa.
“Duh, Ci, ini beneran buat saya?” gugup Jamal bertanya.
“Iya bener, simpen aja duit lu, lu beliin kado!” ujar Ci Ayen lagi.
Kelu lidah Jamal, nyaris tak mampu mengucap suatu apa.
“Terima kasih, ya Ci, makasih banyak.” Ujar Jamal
Ci Ayen hanya tersenyum, Ibu usia 40an beretnis Tionghoa itu mengangguk sembari kembali masuk ke dapur tempat kue-kue di tokonya dibuat.
Jamal beranjak pergi, malam sudah semakin larut. Hari itu Jamal bekerja lebih cepat dari biasanya. Jam 5 sore sudah berada di rumah Juragan Dodo untuk menjual hasil pulungannya hari itu, biasanya, jam 9 malam pun masih berkeliaran di komplek. Tidak banyak hasil pulungan Jamal, selain karena waktu kerjanya yang tidak lama, juga karena hujan besar mengguyur kota Jakarta sedari pagi. Hujan lebat yang kini menghadangnya di malam gelap.
Namun Jamal tak peduli, diikatnya tas kresek berisi kue tart itu erat, ditaruh di sudut gerobak, ditutupi potongan ember plastik bekas sehingga terlindung dari hujan. Jamal pun bergegas, menarik gerobaknya tergesa, membawa hadiah istimewa untuk Asih.
Dan ditembusnya hujan di pekat malam itu.
Sore itu benar-benar mengejutkan bagi Dicky. Di saat bersiap pulang, berkemas, dan menelepon petugas valet parking untuk mengambil mobilnya, tiba-tiba,
“Pak Dicky, ada tamu, penting katanya.” Rani sang sekretaris menelepon melalui pesawat telepon internal di mejanya.
“Katakan aku tidak terima tamu, aku ada meeting yang tak bisa kutinggalkan!” balas Dicky
“Tapi Pak, tamu ini harus menemui Bapak, penting juga, katanya!”
“Katakan, aku tidak mau menemui!”
“Tapi Pak, dia memaksa ingin bertemu!”
“Siapa sih, dia?”
“Namanya Cindy, Cindy Devita.”
“Hah! Ci..Cindy…!” tergetar hati Dicky mendengar nama itu. Nama yang begitu dekat selama 6 bulan terakhir. Cindy lah yang menjadi alasan Dicky pulang malam meski tidak ada meeting, Cindy lah yang menjadi alasan hari Sabtu Minggu berpura-pura pergi main golf, Cindy lah yang menjadi alasan Dicky meniduri perempuan lain selain Anna, istrinya.
Dicky tercenung, melamun.
“Hai, Dicky, apa kabar?” seorang perempuan muda usia 25 tiba-tiba berada dekat di depan Dicky. Dicky mendongak, setengah terbelalak Dicky melihat kedatangan Cindy. Saat itu Cindy berbaju terusan bermotif bunga setinggi lutut, sepatu hak tinggi, berkacamata hitam transparan, dan sedang tersenyum pada Dicky.
“Cin, aku harus segera pulang, anakku ulang tahun” ucap Dicky memohon
“Oh, selamat kalau gitu, aku juga tidak akan lama, aku hanya ingin menyampaikan ini!” dingin Cindy berkata.
Diserahkannya secarik kertas terlipat tiga. Dicky membuka lipatan kertas itu, dan terbaca dengan jelas di tengah lembaran bertuliskan “POSITIF” dengan cetak hitam yang tebal.
“Kau..kau…ha..hamil…?” tanya Dicky gugup
“Iya, aku hamil, dan itu anakmu!”
Dunia seakan runtuh bagi Dicky…
BMW X5 itu dikendarai Dicky dengan sangat kencang. Jalanan Jakarta malam itu sepi, hujan deras mengguyur diselingi petir dan angin kencang. Sesekali Dicky melongok ke jam tangannya yang sudah menunjuk angka 8. Sudah sangat terlambat untuk janji tiup lilin di ulang tahun Ninda. Berkali-kali dering HP berbunyi, dari Anna yang menanyakan keberadaan Dicky. Sekali lagi Dicky harus berbohong dengan mengatakan ada tamu dari Jepang. Terbayang wajah Cindy sekelebatan, campur aduk perasaan Dicky. Tidak mungkin Anna ditinggalkan demi Cindy. Sementara, janin dalam perut Cindy adalah darah dagingnya.
Kesekian kalinya, jam tangan itu diliriknya. Jarum pendeknya semakin bergerak ke arah angka 9. Jam 8.30! Ditekannya pedal gas semakin kencang, menyisakan deru mesin dan air yang menciprat deras akibat hantaman ban mobil. Tanpa menginjak rem, Dicky membelokkan mobil di sebuah tikungan. Ditengah gelapnya malam dan derasnya hujan, sekelebat Dicky melihat seseorang melintas menyeberang menarik sebuah gerobak.
Spontan Dicky menginjak rem, sekaligus membanting stir ke arah kanan, menimbulkan suara berdecit ban yang menggesek aspal licin. Dicky hanya pasrah memejamkan mata.
Dan,
“Braakkk…” terlambat Dicky menghindar.
Meski sempat terbanting ke arah kiri, mobil Dicky terlanjur menghantam gerobak itu dan sekelabat terlihat ada orang terpental jauh membentur aspal.
Namun tidak sampai di situ.
Mobil Dicky yang sudah telanjur terbanting ke kiri, semakin tak terkendali dan masuk ke bahu jalan. Sebuah truk terlihat sedang terparkir, tak mampu juga dihindari Dicky.
Dan…
”Braakk…” suara gebrakan keras kedua terjadi dalam waktu yang tidak terlalu lama. Mobil Dicky melesak masuk ke kolong bak truk itu. Setengah mobil Dicky, seakan tertelan oleh bagian belakang truk.
Jamal, yang ternyata orang dibalik gerobak, terlempar jauh, terbentur keras dibagian kepala. Jamal tertelungkup kaku, tubuhnya tak bisa digerakkan, samar matanya memandang gerobaknya yang terguling hancur. Dilihatnya kue tart teronggok hancur tepat di sisi tangannya. Tangan itu berusaha meraih onggokan kue itu, di pikiran Jamal, hanya ingin berusaha menyelamatkan kue. Meski terasa dekat, namun tangan Jamal tak mampu meraihnya. Perlahan Jamal merasakan sesak di tenggorokan, seolah ada yang menghambat nafasnya. Hingga hambatan nafas itu serasa diloloskan, begitu ringan, dan dunia menjadi gelap bagi Jamal, meski matanya terbuka lebar.
Dicky tersengal. Badannya sulit bergerak, selain karena himpitan mobil, juga karena sepertinya semua tubuh Dicky lumpuh, tak mampu bergerak. Hanya mata yang sebentar terkedip lemah. Ada rasa asin mengalir di lidah Dicky, rasa asin dari darah merah yang mengalir entah dari mana, bisa dari dalam tubuh Dicky sendiri atau bocor hasil benturan di kepala.
Terdengar sayup di telinga Dicky suara teriakan orang-orang.
“Ada tabrakan… ada tabrakaaaan!!!”
“Panggil polisi…!”
“Panggil ambulan…!”
Sesak dada Dicky, seolah ada batu besar menghimpit.
Nafas Dicky masih mencoba berhembus, tersengal berat, seakan ingin lolos dari himpitan.
Hingga akhirnya nafas itu benar-benar mampu melepaskan diri dari himpitan, lolos lepas dari raga. Dunia pun menjadi gelap bagi Dicky, meski matanya tetap terbuka lebar.
Di saat yang sama, di dua tempat berbeda…
Dua gadis usia 5 tahun itu sama-sama berharap. Berharap akan janji datangnya ayah mereka untuk merayakan ulang tahun ke-5nya. Mereka gelisah karena hingga jam 8.30 malam ini, tidak ada satupun tanda-tanda kedatangan kedua ayah itu. Asih tak sabar menunggu Bapak yang akan membelikan kue tart pertamanya, Ninda tak sabar menunggu Papa yang akan bersama-sama tiup lilin di usianya ke-5.
Keduanya tak sabar….
Dan keduanya berbisik lirih…
“Aku mau tiup lilin…”
Denpasar, 9 November 09

