Hi Popers, gue dapat kisah yang sangat meng-inspirasi tentang sebuah komunitas yang namanya RUMAKSA. Jadi berawal dari obrolan kecil di warung kopi, ada sekelompok pemuda yang merasa resah melihat kondisi sosial dan lingkungan berusaha mencari “solusi” dan memberi warna dalam dinamika kemasyarakatan.
Kegelisahan pertama yang mereka rasakan adalah ketika mereka melihat anak-anak yang seharusnya pada umur tersebut sudah bisa membaca namun pada kenyataannya masih terbata-bata. Siapa yang harus disalahkan dalam hal ini? Suatu pernyataan wajar yang biasa terlontar dari mulut kita untuk mencari cari kesalahan, namun bagi para pemuda ini pertanyaan “siapa yg harus bertanggungjawab” atau “menyalahkan keadaan” justru melecut mereka untuk berbuat lebih .. pasrah pada keadaan berarti menyerah.
Berbekal semangat dan ingin menjadi bagian dari solusi maka mereka kemudian bersepakat membentuk suatu komunitas yang mereka namakan RUMAKSA sebuah singkatan dari Rumah Membaca Aksara, dari tangan-tangan ini (Wildan, Riki Odong, Yupi dan rekan lainnya) hadirlah sebuah perpustakaan di kampung mereka tinggal yakni kampung Cemplang Baru, Cilendek Barat. Tentu tidak sekedar membangun perpustakaan yang mereka lakukan, tetapi juga upaya pendampingan bagi anak-anak yang masih kesulitan membaca, mereka sadar betul bahwa membaca buku adalah jendela dunia.
Salah satu penggagas RUMAKSA, Wildan mengatakan: kami sadar betul anak-anak tidak bisa di cekoki belajar.. belajar ..dan belajar, kami juga ingin satu frekuensi dalam obrolan di masa depan, dengan cara seperti apa? kami menumbuhkan atau memperkenalkan budaya budaya mainan anak tahun 90-an semisal bermain congklak, monopoli, bekel , engrang , dan lain lain. Selain itu juga untuk merangsang motorik anak, agar anak anak ini tidak tergantung oleh gadget yang merusak budaya kehidupan kita. Lebih lanjut wildan menambahkan, target kami bukan hanya untuk anak yang di bangku kelas 1 sampai 6 SD , melainkan lebih dari itu yakni membangun keterbukaan wawasan kepada anak anak SMP dan SMA agar terhindar atau termakan dari narasi ‘ mencari jati diri melalui tawuran ‘ keresahan kami tentang anak pelajar tawuran pun membuat kami mencoba mendekat ke anak anak usia yang rentan terbawa oleh arus kekerasan ini. Metode yang kami lakukan diantaranya adalah mengajarkan ketrampilan, seperti menyablon. membuat souvenir yang setidaknya dapat di jual dan menghasilkan
Dalam perjalanan waktu komunitas ini kemudian merentangkan sayap, tergerak pada satu persoalan klasik di negeri ini yakni SAMPAH, ya.. pemandangan sampah yang terbawa arus cisadane menjadi suatu hal yang biasa di kampung mereka tinggal. Mungkin biasa bagi sebagian orang namun bagi mereka ini adalah sebuah tantangan. Upaya kolaborasi antar komunitas juga mereka lakukan seperti dengan Wanadri, Lapak Baca, YALISA yang bersedia meminjamkan perahu karet, untuk dipakai rutin membersihkan sampah di daerah aliran sungai cisadane. Mereka terbuka untuk berkolaborasi dengan siapa saja sejauh mempunyai visi yang sama.
Hebat… mungkin itu kata yang pas ketika mengetahui lebih jauh mengenai asal pembiayaan berbagai kegiatan mereka utamanya pada operasional kegiatan perpustakaan di Rumah Membaca Aksara, jauh dari kata meminta “sumbangan door to door” kepada warga, mereka ini justru lebih memilih cara dengan berjualan seperti menjual cilok, baju bekas dan lain sebagainya untuk menjaga “idealisme” agar kegiatannya tetap berjalan.
Semoga ide kebaikan ini bisa ditularkan pada pemuda-pemuda lain dimanapun berada.