General Knowledge
Perlindungan yang Gagal Melindungi (?)
Oleh Nynda Fatmawati
Media sosial dan konvensional sedang marak dibahas tentang kejahatan yang melibatkan anak. Baik sebagai korban atau pelaku. Kasus Mario Dandy dkk yang menganiaya David yang juga melibatkan teman perempuan mereka yang bernama AGH, pembacokan anak oleh temannya gara-gara tersinggung saat main bola, pembakaran santri saat tidur oleh teman satu pondoknya dan banyak cerita sadis lainnya bisa jadi hanya merupakan puncak gunung es. Di bawahnya masih banyaaaaaak kejadian lainnya.
Pacar Mario Dandy, AGH berusia 15 tahun, korbannya yang bernama David Ozora berusia 17 tahun. Korban dan pelaku pembacokan karena ejek-ejekan saat bermain bola sama-sama duduk di bangku SD. Santri korban pembakaran berusia 13, pelaku adalah seniornya yang berusia 16 tahun. Dalam hukum, mereka masih dianggap sebagai anak-anak.
Pasal 1 Angka 1 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan beberapa peraturan perundangan lain mengatur bahwa yang dimaksud anak adalah orang yang belum berusia 18 tahun, termasuk yang masih dalam kandungan. Yang dimaksud perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Karena itu, orangtua dan orang di sekitar anak harus berperan aktif dalam memenuhi dan menjaga supaya anak mendapatkan haknya dan perlindungan dari orang dewasa di sekitarnya.
Saat rekonstruksi kasus Mario Dandy terlihat ada satu saksi lagi, yaitu N yang ternyata orangtua dari teman David berteriak setelah melihat David tergeletak malam itu. Amanat undang-undang mewajibkan kita untuk juga melakukan hal seperti itu. Jangan diam bila melihat anak mendapatkan kekerasan. Ada ancaman hukuman bila kita, orang dewasa yang melihatnya abai terhadap keselamatan anak tersebut.
UU no 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU no 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal Pasal 76C menyatakan setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan Kekerasan terhadap Anak. Pasal 80 mengatur tentang sanksi bagi yang melanggar yaitu pidana paling lama 15 tahun dan denda maksimal 3 miliar rupiah. Selain pertimbangannya terdapat dalam perbuatan (pembiaran) juga tergantung pada kondisi korban.
Dalam pertimbangannya dinyatakan bahwa alasan diatur tentang perlindungan anak karena anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada
masa depan, karena itu negara hadir untuk memastikan anak Indonesia dapat berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia.
Kejadian yang berhubungan dengan anak (sebagai pelaku) akhir-akhir ini mencengangkan karena gambaran anak yang harus dilindungi berbanding terbalik dengan kejahatan yang dilakukannya. Membakar teman, membantu menganiaya teman, menyerang dengan senjata tentu bukan perbuatan yang bisa dilakukan anak. Di saat yang berbeda saya pernah melakukan interview dengan siswi SMA yang merupakan korban perdagangan kepada pria hidung belang yang dilakukan temannya. Dan menurut cerita, dia adalah korban kesekian, artinya temannya ini menjadi mucikari untuk teman-teman sebayanya sendiri! Speechless saya..
Masalahnya, sebagai bentuk komitmen terhadap anak, pemerintah juga menetapkan satu peraturan perundangan bagi anak-anak yang menjadi pelaku kejahatan: UU no 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Terdapat beberapa ‘perlakuan istimewa’ bagi anak yang terlibat dalam tindak kejahatan seperti tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup, tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat dan identitas yang harus dirahasiakan.
Dalam UU tersebut dinyatakan bahwa pidana penjara adalah salah satu bentuk pidana pokok bagi anak. Pasal 81 ayat (5) dan (6) juga mengatur bahwa pidana penjara terhadap Anak hanya digunakan
sebagai upaya terakhir dan jika tindak pidana yang dilakukan Anak merupakan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, pidana yang dijatuhkan adalah pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun. Dari aturan diatas kita sudah bisa menangkap bahwa negara hendak meletakkan anak sebagai manusia yang wajib dilindungi dan bertumbuh kembang maksimal termasuk saat melakukan kesalahan, baik pelanggaran ataupun kejahatan.
Masalahnya, yang terjadi akhir-akhir ini menimbulkan pertanyaan yang mengusik kita: pelakunya masih anak-anak, mengorbankan temannya yang juga masih anak-anak namun bentuk perbuatannya tidak dapat dikatakan sebagai kenakalan anak padahal hukum memberinya ‘previllege’ karena status pelakunya yang masuk kategori anak.
Bukankah ini ironis?
Baik UU Perlindungan Anak maupun Sistem Peradilan Pidana Anak berasaskan kepentingan terbaik untuk anak, selain keadilan dan melindungi hak untuk hidup, perkembangan anak. Bagaimana perlindungan dan keadilan terhadap anak (sebagai korban) bisa ditegakkan maksimal bila terdapat batasan dan perbedaan yang signifikan dalam hal pidana ‘kejahatan’ antara KUHP dan Sistem Peradilan Anak?
Kita ambil ilustrasi, kasus yang baruuu saja diberitakan saat saya menulis ini: ada anak sekolah (SMP) sedang menyeberang jalan tiba-tiba diserang bertubi-tubi oleh beberapa pelajar (SMA) tanpa alasan dan menurut berita korban meninggal di tempat. Pelaku masuk kategori anak. Bila dalam KUHP anggaplah pelaku ini tidak menghendaki untuk membunuh korban maka yang berlaku pasal 354 KUHP tentang Penganiayaan Berat:
(1) Barang siapa sengaja melukai berat orang lain, diancam karena melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun.
UU Sistem Peradilan pidana Anak mengatur ancaman hukuman dalam pasal 81 sebagai berikut:
(1) Anak dijatuhi pidana penjara di LPKA apabila keadaan dan perbuatan Anak akan membahayakan
masyarakat.
(2) Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak paling lama 1/2 (satu perdua) dari maksimum
ancaman pidana penjara bagi orang dewasa
Artinya maksimal hukuman terhadap anak yang melakukan penganiayaan hingga korban meninggal adalah maksimal 5 tahun. Seandainya pelaku umur 15 tahun, maka dia akan bebas maksimal umur 20 tahun. Masih bisa melanjutkan hidupnya sebagaimana yang diamanatkan dalam undang-undang. Bagaimana dengan korban? Dia kehilangan hidupnya, keluarganya kehilangan orang yang dicintainya.
Apakah pemidanaan anak saat ini ini bisa menimbulkan efek jera?
NF
Atau justru bisa dijadikan ‘jalan ninja’?
Apakah ini saatnya kita melakukan re-formulasi pemidanaan dan kategori usia atau kejahatan supaya tidak digeneralisasi atas nama ‘anak’? Masih layakkah anak usia 15-18 tahun disebut anak yang tidak memiliki kesadaran penuh akan akibat dari perbuatannya? Atau apakah semua pelanggaran yang dilakukan anak pasti merupakan ‘kenakalan’, bukan kejahatan?
Saya jadi ingat salah satu adegan dalam drakor berjudul The Glory, ada salah satu scene yang bercerita tentang anak yang mengancam menusuk ayahnya saat melihat ayahnya menyiksa ibunya. Ketika ibunya melarang dia mengatakan kurang lebihnya begini: “aku saja (yang tusuk) bu, karena aku masih anak-anak, kalau aku bunuh ayah aku pasti akan baik-baik saja”
sumber berita https://nyndafatmawati.com/perlindungan-yang-gagal-melindungi/